Senin, 28 Desember 2009

Sukacita Natal

Kebaktian Fajar Natal, 25 Desember 2009
Bacaan Ekaristi: Yesaya 62:11-12, Titus 3:4-7, Lukas 2:15-20


Malam Natal tahun ini saya pergi sendirian merayakan misa. Selain karena bertugas tata laksana, anak-anak kami juga masih terlalu kecil untuk diajak merayakan misa malam. Paginya saya mengantar anak-anak & ibunya ke Gereja. Tetapi di pagi itu, Gereja tampak agak lengang. Mungkin karena jam kebaktian memang terlalu pagi untuk sebagian besar jemaat yang telah mengikuti kebaktian malam Natal hingga larut malam. Sementara kami sudah bersiap sejak pagi, hanya si bungsu yang belum mandi. Ia langsung kami bawa masuk mobil karena masih tidur lelap. Natal kali ini memang terasa istimewa karena anak sulung saya tampak bersemangat sejak semalam sebelumnya.

Sambil menyimak kotbah pak Pendeta, saya merenungi pengalaman natal kali ini. Semua seolah nyaris sama. Sejak ibadat advent yang nyaris sama, hiasan di rumah kami yang sederhana, lagu-lagu yang itu-itu juga. Tetapi akhirnya saya menemukan juga adanya perbedaan. Yang berbeda adalah sukacitanya. Saya sekarang lebih bergembira, lebih mudah bersyukur, lebih nikmat bedoa. Ya, itulah yang membedakan suasana natal kami kali ini. Jangan tanya saya, mengapa bisa begitu. Asli, sejujur-jujurnya, bahwa saya tidak tahu mengapa saya bisa lebih bersukacita.

Apakah sukacita itu juga setara dengan sukacita para gembala yang datang menjenguk kanak-kanak Tuhan? (Bdk Lukas 2:15-20) Saya tidak tahu. Dan ketidaktahuan saya itu masih berlangsung hingga kini. Tetapi untungnya, sukacita natal yang damai sejahtera juga masih saya rasakan nikmatnya hingga kini. Mungkinkah ini semacam berkah? Bahwa Tuhan memberkati saya dengan sukacita, dan sukacita saya itu menulari anak-anak dan istri saya. Entahlah, mungkin pikiran saya terlalu dangkal dan naif untuk dapat mengerti segala sesuatu yang saya alami.

Jadi, apapun bagaimanapun mengapapun, saya bersyukur mengalaminya. Puji Tuhan, alleluya.

Selanjutnya saya berdoa agar Tuhan juga berkenan melimpahkan berkatnya secara khusus kepada anda, agar anda dengan mudah dapat memiliki sukacita natal yang damai sejahtera itu.

Rabu, 23 Desember 2009

Natal (Kedua)

Misa Ekaristi Fajar Natal, 25 Desember 2009
Bacaan Ekaristi: Yesaya 62:11-12, Titus 3:4-7, Lukas 2:15-20



Saya membayangkan. Ada antrian panjang untuk menghadap pengadilan Tuhan di saat kedatangan-Nya yang kedua. Maka saya tentu berada di barisan panjang itu. Mungkin ini bukan barisan terpanjang, karena masih ada barisan lain yang mengekor nyaris tak berujung. Itulah barisan yang pernah saya gambarkan sebagai 3 kelompok penyambutan Tuhan: kelompok yang siap, yang tidak siap dan yang siap-tidak-siap. Tentu saja (baca: sayangnya), saya masih di kelompok antrian terakhir. (Anda kira-kira di kelompok mana ya?)

Sambil pringas-pringis cemas, suara hati berseru-seru, “Rasain lu.” Sementara otak menanggapi dingin, “Ya wis.” karena memang sudah tidak ada pintu darurat atau tangga penyelamat apapun. Tapi telinga masih rajin menguping suara di sekitar saya. Suara itu pasti bukan obrolan, karena mulut sudah terkunci. Jadi, jangan-jangan suara batin yang menjerit-jerit hingga terdengar telinga saya. Berikut adalah petikan suara yang menarik.

“Semoga ada pengumuman, bahwa ini hanya gladi resik. Atau bahwa acara pengadilannya ditunda. Syukur-syukur sampai abad depan.”

“Bukankah Tuhan itu Maha Rahim, Maha Pengampun. Akankan semua orang, mereka yang sudah meninggal, kami yang masih hidup dan tentu saja including but not limited to diriku sendiri juga diampuni?”

“Memang hidupku tidak suci. Tetapi aku juga bukan penjahat tulen. Akankah pendosa kecil dan kambuhan sepertiku, bisa selamat ?

“Kalau di saat-saat terakhir-Nya di kayu salib, Tuhanku telah mengampuni dosa orang yang baru beberapa menit dijumpaiNya, akankan Ia juga mengampuni dalam perjumpaan kali ini.”

“Mengapa kiamat harus terjadi? Mengapa pengadilan terakhir harus ada? Mengapa?”

“Bagaimana dengan anak-anakku? Akankah mereka juga bisa selamat?”

“Bagaimana dengan istriku? Seorang pejuang yang pendiam. Wonder woman yang baik hati. Ibu yang selalu siap untuk anak-anaknya. Akankah ia juga selamat. Bisakah kami tetap bersama dan berjumpa lagi?”

Tiba-tiba saya mendengar alarm hape. Wuaduh, sudah waktunya bangun beneran. Berarti itu tadi suara batin saya sendiri. Yang nyata dalam mimpi. Yang tetap resah menantikan Natal yang kian mendekat.

Saya berdoa, agar tidak terus menerus resah, dan tentu juga agar anda tidak seresah saya.

SELAMAT MERAYAKAN NATAL.

Selasa, 22 Desember 2009

Pre Natal, Neo Natal

Pekan Adven IV, 20 Desember 2009
Bacaan Ekaristi: Mikha 5:2-5a, Ibrani 10:5-10, Lukas 1:39-45


Apakah anda mengenal istilah itu? Pre Natal adalah masa persiapan kelahiran. Ada kegembiraan dan kecemasan silih berganti. Kalau ada flek tentu cemas. Tetapi tidak ada flek juga tetap cemas. Gembira karena hari kelahiran semakin dekat. Gembira karena akan lahir anak sulung kami. Suasana inilah yang pada minggu ini kita peringati. Suasana menjelang kelahiran anak sulung Bunda Maria dan Bapa Yusuf. Dalam kondisi mengandung, Bunda Maria pergi mendaki pegunungan untuk mengunjungi rumah Zakaria dari Nazareth ke Yehuda. Luar biasa memang Bunda Tuhan itu, meskipun tidak dijelaskan dalam usia kandungan berapa bulan, akan tetapi kisah ini menunjukkan sukacita yang besar yang hendak dibagikan Sang Bunda kepada saudaranya. Suasana gembira itu langsung dirasakan oleh Ibu Elisabet dan bahkan janin dalam kandungannya. Bdk. Luk 1:39-45. Ayat yang ke 42 begitu terkenal, sehingga menjadi salah satu kalimat dalam doa Salam Maria.
42 ... lalu berseru dengan suara nyaring: "Diberkatilah engkau di antara semua perempuan dan diberkatilah buah rahimmu.

Suasana ini juga ada pada keluarga menjelang kelahiran anak-anak kami. Tetapi khusus pre-natal anak sulung kami, ada yang berbeda. Menjelang persiapan upacara syukur 7 bulanan, pre-natal itu menjadi neo-natal. Saya sendiri baru mengetahui istilah Neo Natal itu saat anak sulung saya lahir prematur pada usia 6,5 bulan. Bukan main. Dokter malah sempat memperkirakan beratnya hanya berkisar 700gr hingga 1500gr saja. Ternyata ia lahir dengan berat 1646gr panjang 41cm. Selama 7 hari ia dirawat di ruang NICU, neonatal intensive care unit. Pengalaman selanjutnya saya sharingkan. Begini.

7 hari pertama adalah saat yang penuh kecemasan di ruangan itu. Begitu mungilnya ia, sampai pampers impor tertipis untuk new born babies pun masih dikenakannya sebatas dada, persis seperti celana Obelix. Dokter spesialis anak yang merawat anak kami sekaligus spesialis prematur juga. Ia berpesan agar kami tidak menunjukkan rasa cemas, melainkan sebaliknya. Jadi dengan berpelukan kami saling menguatkan satu sama lain. Dan sambil bergandengan, kami menjenguk anak kami yang terbaring di dalam inkubator. Udara di dalam inkubator sungguh panas. Pastinya mendekati suhu tubuh ibunya, karena memang sengaja dikondisikan seperti dalam rahim. Lalu kami berbisik melalui lubang inkubator, sesekali bernyanyi, menyapa, mengajaknya tertawa, menyentuh jemarinya, menggelitiki. Ia belajar merespon kami. Senyum-senyum. Tangisannya begitu lemah hingga terdengar seperti merintih. Sementara alat monitor jantung, paru-paru sekali-kali menunjukkan kinerja yang tidak beraturan. Memang begitulah bayi prematur. Cairan di paru-parunya belum penuh dan otak belum berkembang sempurna. Suatu waktu computer mencatat bahwa bayi kami ini lupa bernafas. Ya benar, saking lelapnya ia tertidur, paru-parunya ikut lelap. Untung ada alat kedokteran yang canggih sehingga segera menyetrum telapak kakinya dan kejutan ini membuat ia terbangun dan kembali bernafas normal.

Setelah itu ia dipindahkan ke kamar perawatan intensif lainnya. Di ruang inilah kami berjumpa dengan ibu Indrawati, seorang ibu yang masuk rekor MURI karena melahirkah seorang anak dengan tubuh mungil setinggi 72cm. Suka tidak suka, inilah pengajaran Tuhan. Tuhan memberi contoh yang tegas dan jelas, bagaimana mengurus anak dengan segala keterbatasan. Kami bersyukur bahwa secara fisik kami memiliki kelebihan. Tetapi kami juga bertobat, karena semangat kami agak rapuh. Maka terbitlah niat saya untuk belajar merawat kakak. Saya belajar menceboki, mengganti pakaian, menggendong dan menyusuinya. Ya, benar saya, karena ibunya masih takut menyaksikan tubuh kakak yang begitu mungil dan rapuh. Semangat Bu Indrawati membakar kami. Istri saya juga semakin rajin memeras asi dan menyimpannya dalam botol-botol kecil di kulkas. Asi memang harus diperas. Bayi prematur memang belum bisa menelan. Hampir 2 minggu kakak mengkonsumsi asi melalui sonde langsung ke lambung. Lalu beberapa hari belajar menyedot dan menelan asi dengan dot. Kemudian baru belajar menetek langsung dari ibunya.

Sampai minggu ketiga, kami belum memberinya nama. Kami masih memanggilnya 'kakak'. Hingga suatu waktu kami seperti disadarkan bahwa anak kami telah melalui masa-masa pertama kehidupannya dengan luar biasa. Ada keajaiban berkali-kali. Dan ...tuinggg...nguing...nguing sadarlah kami bahwa pastilah ini karena kuasa kasih Tuhan. Maka kami beri ia nama Samuel, berarti Tangan Tuhan.

Selama proses belajar ini, berat badannya naik turun. Kadang naik 15gr. Lalu belajar ngedot, hingga turun 10gr. Ketika suhu inkubator diturunkan, berat badanya ikut turun juga. Saya sering tidak sabar. Kalau bisa seperti membeli emas, saya bayar saja deh supaya langsung naik 500gr. Tetapi tentu tidak demikian. Proses tumbuh kembang berjalan berangsur-angsur, bisa terasa lambat namun sebenarnya cukup cepat berlalu. Naik dan turun adalah hal yang sangat biasa. Seperti juga proses pendewasaan iman. Suatu proses tumbuh kembang yang bagi saya seperti tiada berakhir. Kakak melalui proses itu selama 35 hari. 29 hari diantaranya dilaluinya di dalam inkubator. Sebelum kami bawa pulang, ia terlebih dahulu diperiksa oleh tim dokter. Semuanya dokter spesialis anak, tetapi masing-masing mengambil spesialis lagi. Ada spesialis mata, spesialis gastro, spesialis penyakit dalam, spesialis otak (ia memeriksa kepala anak saya dengan usg berwarna). Pokoknya macam-macam. Jangan tanya tagihannya. Saya tetap bersyukur bahwa Tuhan telah mengatur segala sesuatunya. Kami sebagai orang tua, hanya menjadi alat bagi kasih Tuhan. Kakak adalah salah satu anugerah, yang dipercayakan oleh Tuhan kepada kami. Untuk dikasihi dan dirawat.

Sekarang kakak telah berusia 4,5 tahun. Ia tumbuh dan berkembang sebagai anak lelaki yang menyenangkan. Tentu tidak saja karena ia sendiri berjuang dan berusaha tetap bertahan hidup sejak usia belia, tetapi juga karena upaya tak kenal lelah dari ibunya, istri saya, yang dengan tekun merawatnya. Diatas itu semua, tentu karena kuasa kasih Tuhan yang telah bekerja dengan cara-cara luar biasa.

Itu kisah drama keluarga kami. Kurang lebih 2000 tahun setelah Yesus lahir! Bagaimana dengan suasana menjelang Yesus lahir? Mari kita simak lagi Lukas 1:39-45 dan juga Mikha 5:2-5a, Ibrani 10:5-10. Selamat (membuka-buka dan) membaca Kitab Suci.

Senin, 07 Desember 2009

Planning

Pekan Adven III, 13 Desember 2009
Bacaan Ekaristi: Yes 12:2-6, Flp 4:4-7, Luk 3:10-18


Lebih 2 windu saya bekerja sebagai tenaga pemasaran. Setiap akhir tahun seperti ini, kami tentu sudah mempersiapkan rencana pemasaran tahun mendatang. Tidak hanya pada perencanaan strategis, melainkan juga pada perencanaan sematang-matangnya untuk menyusun langkah-langkah pencapaian. Perencanaan ini menyita pikiran. Kadang disertai begitu banyak lampiran data prospektus dan statistik. Belum lagi memperhitungkan adanya penyimpangan, entah domestik maupun global. Pendek kata, ruwet. Itulah perencanaan tahunan yang istilah kerennya annual strategic & action plan marketing plan. Tahunan? Sebenarnya tidak juga, karena harus disertainya adanya long term plan alias perencanaan jangka panjang dan dievaluasi setiap triwulan. Pokoknya ajib.

Tapi bagaimanapun itu pasti sangat tidak sebanding dengan canggihnya rencana penyelamatan Tuhan selama ribuan tahun. Bayangkan bahwa sejak dosa manusia pertama, riwayat penyelamatan itu sudah terjadi. Campur tangan Tuhan sudah tampak dalam sejarah keluarga umat manusia pertama. Tidak hanya sekali. Bahkan berkali-kali. Tak terhitung. Yang legendaris adalah kisah penyelamatan keluarga Yakub dari bahaya kelaparan. Lalu keluarnya mereka dari Mesir dibawah kepemimpinan Musa. Kemudian penyelamatan Israel dari pembuangan dijaman Nebukadnezar. Kitab Yesaya adalah salah satu buktinya (bdk Yes 12:2-3, 4, 5-6). Dan peran serta Yohanes Pembabtis adalah bukti lainnya lagi (bdk Luk 3:10-18). Kemudian lahirlah Yesus sang Mesias. Sudah berapa tahun itu? Wah, saya sendiri tidak hafal sejarahnya. Tapi kelihatannya benar, ribuan tahun. Suatu karya-jangka-panjaaaaang-sekali.

Itu belum selesai. 20 abad kemudian Allah tetap menyelamatkan. Allah menggerakkan para pekerja seni musik untuk bernyanyi menggalang dana bagi Afrika yang dilanda kelaparan dekade lalu. Allah juga menggerakkan dunia untuk membantu Aceh setelah diterjang tsunami di millenium ini. Allah yang maha luar biasa. Allah yang mencintai manusia. Dan saya, juga anda, tak luput dari kuasa kasih Allah itu.

Dalam setiap karyaNya, Allah melibatkan manusia juga. Ada Yusuf yang menjadi semacam kepala bulog di Mesir. Ada Musa & Harun. Ada Yesaya, Yeremia dan nabi-nabi lain, termasuk nabi Elia dan Yohanes Pembabtis. Itu di jaman sebelum Masehi. Di jaman kita pun kita kenal banyak sekali pejuang kemanusiaan. Anda pun mungkin adalah salah satu dari para pejuang itu. Tetapi yang paling istimewa dalam sejarah manusia tentunya adalah Yesus Kristus.

Dalam iman kita mengakui bahwa Yesus tetap berkarya untuk keselamatan kita. Tak jarang doa kepada Yesus dikabulkan. Meskipun sering berdoa, saya bukan ahli doa. Jadi saya sungguh tetap tidak tahu bagaimana kriteria doa yang baik, mengapa doa ini dikabulkan sedangkan lainnya tidak. Saya hanya berdoa biasa saja. Tetapi kok ya nyatanya doa saya ada yang terkabul. Anda tentu juga merasakan karunia luar biasa ketika doa anda dikabulkan. Kebetulankah? Kalau toh betul demikian, saya dan anda tentu sungguh beruntung dan sepatutnya bersyukur.

Tetapi beruntung atau tidak beruntung tidaklah penting. Yang penting adalah karya penyelamatan ilahi itu sudah-masih-dan akan tetap berlangsung. Dulu, kini dan kelak. Akur? Kalau setuju, kita perlu bersyukur. (Lagi?) Ya, lagi.

Sekarang, mari kita simak Filipi 4:4-7
4 Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah!
5 Hendaklah kebaikan hatimu diketahui semua orang. Tuhan sudah dekat!
6 Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur.
7 Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus.

(Sekarang bersyukur lagi?) Ya, lagi, sambil bersukacita!



Rabu, 25 November 2009

Kalau Berdosa Terus Mau Apa?

Dalam suatu renungan yang saya terima via email pagi ini, tertulis demkian.

NAMA BAIK

Pak Indra adalah anggota jemaat potensial. Pengalaman berorganisasinya luas, baik di tingkat lokal maupun nasional. Tak ayal lagi ia dicalonkan sebagai ketua panitia Natal. Namun, ada satu masalah. Banyak orang berkata, Pak Indra terlibat perbuatan amoral. Mereka tak bisa membuktikan perbuatan dosanya, tetapi bisa mencium gelagat yang tidak beres. Yang jelas, Pak Indra tidak lagi punya nama baik di lingkungannya. Bolehkah ia tetap dijadikan ketua panitia Natal, dengan asas "praduga tidak bersalah"?

Ketika Rasul Paulus menuliskan syarat menjadi pemimpin jemaat, ia memasukkan unsur "nama baik" (1 Timotius 3:7). Pemimpin harus punya nama baik di masyarakat agar ia tidak digugat orang. Nama baik itu menyangkut citra dan penilaian orang terhadap diri kita. Memang penilaian orang tidak selalu tepat, tetapi sebuah citra buruk pasti melumpuhkan wibawa dan pelayanan kita. Pemimpin bercitra buruk bisa menjadi batu sandungan, bahkan merusak kesaksian gereja. Itu sebabnya Paulus meminta para pemimpin menjadi teladan dalam bertingkah laku (1 Timotius 3:3), berkeluarga (1 Timotius 3: 2,4,5), dan bermasyarakat (1 Timotius 3:7). Tidak cukup ia dinilai orang "tidak terbukti bersalah". Ia harus benar-benar dinilai "terbukti tidak bersalah". Tak bercela.

Punya nama baik bukan cuma penting bagi para pemimpin. Sebagai saksi Kristus, setiap orang kristiani juga harus mempunyai nama baik. Coba renungkan: apa kira-kira kesan orang-orang tentang kita? Sudahkah Anda punya nama baik di lingkungan Anda? Kalau belum, apa sebabnya? Lantas bagaimana memperbaikinya?

~~ORANG KRISTIANI TANPA NAMA BAIK BAGAIKAN BUNGA MELATI TANPA HARUM WANGI~~

Sumber: Renungan Harian
Penulis: JTI


Luar biasa menarik renungan ini. Untuk dicecap-cecap dan dipikir-pikir. Sebenarnya ini isu yang sangat klasik: radikal sekaligus kritikal. Persoalan filosofisnya sejak lama digambarkan sebagai "justifikasi" sebagai azas pembenaran di satu sisi dan "falsifikasi" sebagai azas penyalahan di sisi lain. Contohnya begini. Pernyataan bahwa semua angsa putih adalah benar, selama memang tidak pernah ditemukan adanya angsa yang merah muda, kuning, coklat atau hitam. Sekali saja kita berhasil menemukan bahwa ada angsa yang bulunya tidak berwarna putih, maka pernyataan tersebut harus runtuh demi kebenaran. Disitulah justifikasi dan falsifikasi berlangsung. Ada upaya untuk mencari pembenaran terus menerus. Dan ada juga upaya sebaliknya. Tujuannya sama, mencari kebenaran.

Kembali pada renungan ini. Gereja kita adalah gereja yang sangat manusiawi dalam arti sebenar-benarnya. Bisa tersesat dan bisa benar. Gereja mengklaim bahwa dalam hal-hal yang terkait dengan dogma, ajaran gereja tidak salah alias benar. Namun sejarah gereja (tidak hanya di dunia, tetapi juga Indonesia, bahkan mungkin di paroki kita dan di kring / lingkungan kita) menunjukkan bahwa gereja pernah salah urus, entah misleaded entah misconduct entah mislek (hehe...pis ah). Tetapi sebagai anak-anak gereja, ya kita tetap ke gereja, untuk berdoa, untuk mengaku dosa, untuk berorganisasi atau sosialiasi, bahkan untuk jalan-jalan dan jajan.

Itu tadi gerejanya. Jemaatnya bagaimana? Ya macam-macam. Yang berdosa lalu bertobat kemudian berdosa lagi dan bertobat lagi, banyak. Yang berdosa, lalu berdosa lagi dan nambah dosa terus, baru pada akhirnya bertobat juga banyak. Yang berdosa terus dan selalu lupa bertobat juga ada. Tetapi siapapun itu, rahmat kuasa kasih Tuhan yang bekerja pada mereka tetap sama banyaknya dengan rahmat yang bekerja pada para suci kudus, atau orang-orang yang berhasil memiliki nama harum seperti digambarkan pada renungan tersebut. Bukan "rahmat atas sikap" yang membedakan, tetapi "sikap atas rahmat". Begitulah kepercayaan gereja kita akan kerahiman dan pengampunan Tuhan.

Alinea terakhir dalam renungan itu sangat luhur. Tetapi bagi saya mencecap rahmat pengampunan dan menikmati lembutnya kerahiman Tuhan dalam sakramen Tobat adalah pengalaman luar biasa. Percaya tidak? Bagi yang belum pernah kehausan luar biasa, segelas air tentu kurang berkesan. Tetapi tidak demikian bagi yang sudah pernah mengalami. Memang ini soal pengalaman yang sangat pribadi. Sedemikian pribadinya seperti pengalaman diampuni dari kedosaan, diselamatkan dari maut. Akhirnya bagi saya, sudah tidak penting lagi: siapa uskupnya - siapa pastornya - siapa prodiakonnya - siapa anggota dewan parokinya. Mau benar atau tidak benar siapanya bukan isu penting lagi. Isu pentingnya adalah: adakah pertobatan, adakah perbuatan sebagai buah iman, adakah kasih. (bdk 1Kor: 12).

Saya lantas teringat gambaran Yesus yang mengorek-ngorek tanah dengan santai ketika menghadapi para farisi yang sudah menggenggam batu dengan geram hendak merajam Maria Magdalena. Mau jadi siapa kita? Mau ikut jadi farisi, mau jadi maria magdalena, atau mau ikut Yesus? Hayooo ... mau yang mana, mau jadi siapa dan trus mau apa?


Senin, 23 November 2009

Niat Yang Aneh

Pekan Adven II, 6 Desember 2009
Bacaan Ekaristi: Bar 5:1-9, Flp 1: 4-6, 8-11, Luk 3: 1-6



Kitab Barukh adalah salah satu kitab dalam deretan kedua (deuterokanonika) Perjanjian Lama. Kitab ini menarik bagi saya karena sangat singkat dengan hanya 5 Bab saja dan sangat keren gaya bahasanya! Apalagi babnya yang terakhir, yang disebut sebagai surat Nabi Yeremia kepada umat yang hendak digiring menjadi tawanan Babel. Kitab Barukh ini disetting pada “tahun kelima semenjak Yerusalem direbut orang-orang Kasdim dan dibakar oleh mereka.” Jadi, kitab ini ditulis oleh Barukh sendiri di jaman susah, di masa serba prihatin. (bdk Bar 1:1-2)

Kitab ini dimulai dengan kisah singkat derita Israel sebagai hukuman atas dosa bangsa di masa lampau. Dosa bangsa? Ya benar, dosa bersama, dosa kolektif, dosa keroyokan. “Keadilan ada pada Tuhan, Allah kami, sedangkan malu muka pada kami dan nenek moyang kami, sebagaimana halnya pada hari ini...” (bdk Bar 1:15b diulang persis sama pada Bar 2:6). Kita perhatikan ya. Kitab ini adalah sebuah surat yang dimulai dengan pengakuan dosa (bdk Bar 1:15b-dst), lalu diikuti dengan doa permohonan (bdk Bar 2:11-dst), lalu disusul dengan semacam homili (bdk Bar 3:9-dst) dengan sharing keluh kesah, harapan dan doa (bdk Bar 4:5-dst). Bagian terakhir adalah surat nabi Yeremia kepada mereka. Stuktur kitab ini mengingatkan saya pada struktur ibadat sabda. Semua model ibadat sabda, siapapun pemimpinnya, untuk kepentingan apapun.

Misa ekaristi yang adalah induk semua ibadat, menurut saya malah punya struktur yang lebih dahsyat lagi. Begini. Pertama, umat disambut dengan salam. Lalu umat diajak mengaku dosa bersama. Ini adalah anti klimaks, langsung menghujam. Kalau diselami sepenuh hati, mestinya kita sudah tidak bisa celingak-celinguk lagi. Yang benar malah sesenggukan. Menyadari betapa dosa telah menghacurkan martabat kita dihadapan Tuhan. Lalu kita diingatkan pada tujuan hidup melalui bacaan-bacaan kitab suci dan homili suci. Umat diberi semangat lagi. Dari posisi terpuruk, pelan-pelan mendongak lagi. Kemudian kita semua diajak untuk ikut perayaan ekaristi. Suatu upacara agung sebagai peringatan akan perjamuan Tuhan. Yang kita sambut dalam perjamuan ini adalah tubuh mistik Kristus Yesus sendiri. Kemuliaan ilahi itu tampak dalam wujud yang sangat sederhana: sekeping hosti. Tetapi inilah klimaks yang sesungguhnya. Manusia berdosa itu diajak Tuhan untuk menikmati perjamuanNya, bahkan dijamu dengan kurban tubuh dan darahNya sendiri. Ada yang lebih hebat dari pada itu? Setelah itu barulah kita diutus untuk mewartakan kuasa kasih setia Tuhan kemana-mana, kepada siapapun.

Membaca Bar 5:1-9 tak kurang asyik. Perikop ini bertutur bahwa tiada alasan bagi umat Allah untuk berduka. Biarpun dosa telah meluluhlantakkan hubungan mesra dengan Tuhan. Kendatipun kegelapan telah merenggut kemuliaan martabat. Allah telah berinisiatif merenggut kita kembali. Allah tidak hanya mengampuni dosa, tetapi telah memulihkan martabat yang rusak karena dosa. Saya mengibaratkan Tuhan bagai peternak ikan yang memisahkan ikan yang sehat. Ia menjala ikan-ikan sehat untuk dipindahkan ke kolam yang lebih baik. Akan tetapi semua ikan ternyata meronta-ronta ketika diangkat dari air kolam keruh. Dan semakin liar gerakan ikan itu, semakin sulit penyelamatannya. Begitulah kita, yang sering melawan penyelamatan ilahi. Maka kembalinya kita dalam kedosaan sama sekali bukanlah kegagalan rahmat keselamatan melainkan sepenuhnya keberhasilan dari teguhnya niat kita Niat apa? Niat untuk berdosa!

Nah, sekarang saya lemas. Jadi kalau saya masih berdosa, bukankah itu karena saya memang masih ingin berdosa? Benar-benar suatu niat yang aneh. Bagaimana? Duh.

Tuhan Datang (Kembali)

Pekan Adven I, 29 November 2009
Bacaan Ekaristi: Yer 33:14-16, 1 Tes 3:12-4:2, Luk 21:25-28, 34-36


Bagaimana cara Tuhan akan datang kembali? Injil Lukas 21:25-27 berusaha menggambarkan suasana itu. Dalam salah satu forum diskusi jejaring sosial, ditulis bahwa Tuhan akan datang melalui gelombang theta. Mungkin penulisnya sci-fi addicted. Banyak orang mereka-reka bagaimana peristiwa itu akan terjadi. Mungkin tidak banyak yang memikirkan bagaimana sikap kita menghadapi hal itu. Terkait dengan kedatangan kembali Tuhan, muncul banyak sikap. Secara ringkas, saya membaginya menjadi 3 kelompok berdasarkan sikap mereka.

Kelompok pertama adalah kelompok yang siap menyambut kedatangan Tuhan kembali. Kelompok ini adalah orang-orang beriman yang digambarkan dalam injil Lukas. Orang-orang yang telah bangkit mengatasi kelemahan manusiawinya dan dengan pede (sambil mengangkat kepala) menyambut penyelamatan Tuhan. Mereka ini tidak pernah tertarik dengan dugem yang riuh rendah, tidak juga pernah terjerat dominasi dengan hawa nafsu. Mereka ini tekun menantikan Tuhan dengan tunduk berdoa. Hingga pada saat itu, mereka inilah orang-orang yang lolos fit & proper test dan berhak berdiri dihadapan Tuhan. (Bdk Luk 21:28,34-36). Kemudian, lanjutkan dengan membaca 1Tes 3:12-4:2 (jangan malu kalau anda takut tersesat sehingga perlu mengurutnya dari Perjanjian Lama, saya dulu juga demikian).

Bagaimana dengan kelompok kedua? Gampang. Kelompok kedua adalah kelompok yang persis kebalikan dengan kelompok pertama. Kelompok yang tidak siap. Secara karikatural, mereka ini digambarkan sebagai orang-orang yang terobsesi dengan semua hal duniawi, termasuk harta dan kuasa. Alih-alih berdoa, mereka mungkin justru sibuk mempersiapkan segala strategi dan tipu daya untuk mengambil alih kuasa Anak Manusia. Yakin bahwa kemenangan dunia mengandalkan strategi marketing, mereka yakin juga bahwa keselamatan itu dapat direkayasa, dapat dibeli. Mereka tidak segan berderma jutaan rupiah asalkan bisa selamat, padahal gaya hidup tetap sama mudaratnya. Atau setidaknya mencari mafia justisi agar bisa diloloskan dalam pengadilan akhir. Bahkan sebagian mereka tidak ragu-ragu menjadi calo keselamatan bagi orang-orang panik lainnya yang berpikiran pendek dan beriman cekak. Caranya? Dengan membuka mashab baru dan menjadi nabi palsu, lengkap dengan segala atribut dan alibi. “Sebab anak-anak dunia ini lebih cerdik terhadap sesamanya daripada anak-anak terang.” (bdk Lukas 16:8)

Nah, sekarang kelompok ketiga. Kelompok ini adalah kelompok yang siap tidak siap (harus) menghadap pengadilan akhir. Kelompok ini ditandai dengan sikap gojag-gajeg, iya-enggak iya-enggak, tahu tapi tidak tahu. Tahu bahwa wajib hukumnya untuk mempersiapkan diri menghadapi kedatangan Tuhan, tapi tidak tahu bagaimana harus bertekun dalam doa. Anggota kelompok ini dipenuhi oleh orang-orang yang masih suka meleng, sering mangkir, dlsb. Disinilah tempat berkumpulnya para pendosa yang bertobat, lalu berdosa lagi dan bertobat lagi. Berdosa dan bertobat, silih berganti, tak jemu-jemu.

Saya tahu, saya masih terbilang dalam kelompok terakhir ini. Jangan tanya saya, anda masuk kelompok yang mana. Saya yang justru hendak bertanya kepada anda: mau masuk kelompok ini atau kelompok satu. Saran saya, siapapun apapun dan bagaimanapun jangan pernah ingin masuk kelompok kedua. Karena bagi kelompok dua memang tiada ampun.

Sejujurnya saya bercita-cita pindah kelompok. Kalau anda juga mau, mari masuk dalam kelompok 1. Biar aman beibeh.

Kamis, 19 November 2009

Rasa Bersalah

Pekan Biasa XXXIV, 22 November 2009
Bacaan Ekaristi: Dan 7:13-14, Why 1:5-8, Yoh 18:33-37


Pada suatu blog, seorang imam menuliskan homili pertamanya pada kesempatan Ibadat Jumat Agung. Beliau menyampaikan kabar dengan 2 sisi: kabar ini buruk di satu sisi dan baik di sisi lain. Sisi buruknya adalah bahwa kita kehilangan sesuatu yang sangat berharga. Lebih buruk lagi, kita mungkin sama sekali tidak menyadarinya. Mengapa?

Menurut beliau, pertama karena kita telah sangat terlatih untuk memanipulasi sesama, dengan memanipulasi rasa bersalah untuk tujuan tertentu. Perilaku berpacaran, misalnya. “Kamu lupa menelpon aku karena kamu nggak sayang lagi sama aku.” “Kamu lebih mementingkan keluargamu daripada aku.” “Ujianmu itu lebih penting daripada cintaku padamu!” Hehe...lucu ya? Seperti sinetron. Tetapi percakapan ini bisa mempengaruhi pikiran dan perasaan. Tata tutur berkembang menjadi kebiasaan. Kebiasaan menjadi perilaku, pola pikir, tata tutur. Lalu menjadi budaya. Akhirnya, kita kehilangan petunjuk: apa dan bagaimana rasa bersalah yang sehat itu seharusnya.

Kedua, kita sering menuntut pengertian dari sesama. Perilaku di jalan raya, misalnya. Ketika hujan turun, pengendara motor ramai-ramai berhenti di kolong jembatan layang. Tidak peduli betapa padat lalu lintas saat itu. Tidak peduli betapa banyak kendaraan yang tersendat di belakangnya. Tidak peduli bila mereka telah menutup sekian lajur lalin. Tidak peduli! Kata ini ibarat mantra, simsalabim. Katakanlah “tidak peduli” maka wusss... hilanglah rasa bersalah.

Ketiga, kita tumbuh dewasa sebagai pembohong besar. Meskipun tahu telah berbuat salah, tetapi kita cerdik beralibi. Alibi itu terbungkus begitu rapi dan apik dengan semua alasan logis, psikologis. Alibi itu bahkan juga bisa terdengar sangat teologis, spiritual dan suci! Hebatnya lagi, hal ini sudah menjadi budaya. Sama sekali tidak ada rasa bersalah. Jadi, kalaupun harus meneliti batin pada doa malam (itu juga kalau masih biasa berdoa malam), pasti kesimpulan "clean, not guilty."

Menurut sang pastor, ini sangat serius! Rasa bersalah saja sudah mati, apalagi perasaan berdosa. Waduh. Saya sendiri terlalu malu memberi contohnya. Apapun itu, telah saya sampaikan dalam ruang pengakuan dosa. Kalau anda kesulitan mencari contohnya, berhati-hatilah. Jangan-jangan itu karena rasa bersalah sudah sedemikian tumpul.

Lalu apa kabar baiknya? Menurut pastur itu, meskipun kita telah kehilangan rasa bersalah, meskipun kita sudah tidak lagi terbiasa mengatakan “Maaf ya, saya salah”, meskipun kita sudah tidak pernah lagi berdoa “Mohon ampun atas dosa kita”, akan tetapi ada seseorang, yang sama persis dengan kita, manusia dengan darah dan daging, yang mau menebus kesalahan dan dosa. Bukan menebus kesalahan dan dosanya sendiri, sebab ia tidak bersalah dan juga tiada berdosa! Tetapi kesalahan dan dosa kitalah yang ditebusNya. Ia adalah Yesus.

Sebagai manusia, Yesus selalu bersedia menanggung dosa manusia. Ketika Pilatus berseru “Ecce homo! Lihatlah manusia ini!” (bdk Yoh 18:33-37) Kita tidak mampu memandangnya. Kita tidak akan tega menyaksikan luka-lukaNya. Dan dengan demikian, ia sama sekali berbeda dengan sesamaNya. Ia telah kehilangan ketampananNya, tetapi mendapatkan kemuliaanNya. Dia adalah Kristus!

Bagi saya, tidaklah penting bagaimana perasaan Pilatus dan Imam-imam Kepala saat itu. Akan tetapi (nah, ini penting) kalau kita menyaksikan langsung peristiwa itu, apa rasanya?

Jumat, 13 November 2009

Desember 21, 2012

Pekan Biasa XXXIII, 15 November 2009, Hari Minggu Biasa ke-33
Bacaan Ekaristi: Dan 12:1-3; Ibr 10:11-14; Mrk 13:24-32


Semua orang pasti pernah mendengar kata “kiamat”. Bahkan pernah membicarakannya, entah serius entah tidak. Yang menjadi pokok diskusi pastinya adalah “bagaimana” dan terutama “kapan”. Baru-baru ini ada forum diskusi yang mengatakan bahwa 21 Desember 2012 adalah saat kiamat. Tadinya saya akan menyampaikan sedikit (ehm...sebenarnya hanya copy-paste dengan sedikit edit saja) perihal tersebut. Tapi saya sendiri ndak mudeng. Saya khawatir pembahasan itu hanya akan menimbulkan kontroversi dan pertengkaran. Sudah jelas bagi kita, pada suatu waktu kiamat memang akan terjadi. Soal kapan pastinya tentu saja kita tidak tahu. Tidak seorang pun tahu. Mailakat juga tidak tahu. Dan bahkan Yesus tidak tahu. (bdk Mrk 13:32)

Takutkah menghadapi kiamat? Wah terus terang, saya sendiri bergidik ketika membaca Mrk 13:24-31. Saya takut memikirkan bagaimana peristiwa besar ini akan terjadi. Ketakutan itu semakin besar ketika saya memandangi anak-anak saya yang masih balita. Mereka masih pontang-panting berlarian bila terkejut mendengar gemuruh guntur. Apa yang akan menimpa mereka? Akankah mereka terluka? Akankah mereka menjerit ketakutan? Anda mungkin mengejek bahkan menuduh saya karena ketakutan itu akibat kurang beriman pada Yesus. Tapi sejujurnya, saya sendiri penakut. Takut terluka, takut celaka, takut tertimpa musibah. Apa yang digambarkan tentang peristiwa kiamat dalam bacaan Injil itu menambah ketakutan saya. Saya membayangkan suatu peristiwa bencana yang amat dahsyat akan terjadi pada waktu itu. Mungkin mirip dengan animasi film scifi (=science fiction movie). Entahlah, tetapi saya berharap agar bilamana waktunya tiba mungkin sebaiknya tidak usah ada rasa sakit. (Hu...mau seenaknya saja ya?)

Tetapi saya tidak mencemaskan peristiwa kematian. Dulu, sebelum kebangkitan Yesus, kematian memang menakutkan. Tetapi bagi kita sekarang maknanya sangat lain, oleh karena kebangkitan Kristus kematian itu adalah awal bagi suatu kehidupan yang baru. Mungkin terselip adanya suatu paradoks dalam peristiwa kematian itu. Di satu sisi ada kebenaran bahwa kematian itu akan memisahkan seseorang dengan keluarga dan sahabatnya serta meninggalkan duka mendalam bagi mereka yang ditinggalkan di dunia fana. Tetapi benar juga bahwa kematian itu akan mempertemukannya dengan leluhurnya, keluarga dan sahabatnya yang telah meninggal lebih dulu dalam dan mendapatkan suka cita baru di alam baka. Dan ini semua oleh karena penebusan Kristus Yesus yang telah mengalahkan kuasa maut. Suatu penebusan yang setiap tahun kita rayakan dengan gegap gempita dalam upacara Paskah. Suatu misteri yang menjadi tonggak iman Gereja.

Sewaktu masih kanak-kanak, saya takut kegelapan. Bila listrik padam, seluruhnya jadi gelap gulita. Apakah anda ingat pengalaman semacam ini? Kegelapan yang pekat dan ketidakmampuan melihat, memicu asma saya. Nafas saya tersengal-sengal. Kepanikan melanda. Dan tangis saya pun meledak. Kalau sudah begitu, saya akan bergerak kesana kemari, menabrak apa saja, menjangkau apapun. Di tengah kekacauan itu, suara berat ayah saya adalah kabar gembira. Ya benar, baru mendengar suara beliau pun kepanikan saya sudah mereda. Apalagi ketika tangan dan lengan yang kokoh kuat itu menjangkau dan mendekap saya, wuahhh...rasanya ayem karena terselamatkan.

Mungkin seperti itulah kehadiran Tuhan di saat-saat gelap hidup kita. Tuhan Yesus bagaikan seorang ayah yang berjalan di kegelapan untuk meraih dan menyelamatkan kita. Kuasa maut itu sudah dikalahkanNya, dan pada gilirannya kita akan ditebusNya. Kita memang tidak tahu kapan waktunya. Kita juga tidak tahu bagaimana kejadiannya. Tetapi kita tahu pasti bahwa ada Tuhan Yesus yang “telah-sedang-dan-akan” bagi kita. Tuhan yang terbukti telah melindungi kita dari segala mara bahaya. Tuhan yang sedang memberkati segala karya kita. Tuhan yang akan menyelamatkan kita dari maut.

Bagaimana bisa begitu? Hmm...mungkin begini penjelasannya. Apakah perbedaan kurban Yesus dan kurban persembahan para imam? Kurban Yesus ditandai dengan kurban darahNya sendiri, biarpun hanya satu kali tapi untuk selama-lamanya, telah mengkuduskan semua dosa umat manusia baik yang hidup dahulu sekarang maupun kelak. Sedangkan setiap imam mempersembahkan kurban yang bukan darahnya sendiri, setiap hari berulang dari hari ke hari, yang sama sekali tidak dapat menghapuskan dosa. (bdk Ibr 10:11-14). Sungguh, kita sangat beruntung telah ditebus Tuhan.

Ada bahaya. Ada musibah. Ada kematian. Ada kiamat. Akan tetapi ... (lha, ini penting) ada Yesus! Ada keselamatan. Horeeee...!

Senin, 09 November 2009

Persembahan

Pekan Biasa XXXII, 8 November 2009,
Bacaan Ekaristi: 1 Raj 17:10-16; Ibr 9:24-28; Mrk 12:38-44 (Mrk 12:41-44)



Membaca Mrk 12:38-44, saya terkekeh dalam hati. Sekarang sih sudah tidak jamannya para pastur berjalan-jalan kesana kemari dengan jubah panjang. Trennya sudah berubah. Mereka ini bahkan acap kita temui mengenakan t-shirt dan celana casual. Lebih praktis dan fashionable. Doa-doa yang panjang juga sudah usang. Doa sekarang sudah serba singkat dan lugas. Biasanya hanya 1 menit. Lebih dari dua menit terasa bagai basa basi, menjemukan dan mengantukkan. Umat juga sudah semakin kritis. Mereka menaruh hormat karena sikap positif imamnya, bukan karena jabatannya. Yesus mengingatkan para pemimpin agama yang mencoba membangun citra diri palsu. Bahkan Yesus mengecam setiap upaya memperdaya umat dengan memanfaatkan kepalsuan itu.

Tetapi 3 ayat terakhir, lebih menarik bagi saya. Seperti di gereja kita, ada beberapa kotak derma di bait Allah Yerusalem. Beberapa diperuntukan bagi laki-laki Yahudi, yang memang wajib berderma. Lainnya untuk sumbangan sukarela. Saya membayangkan bahwa Yesus sedang memergoki seorang janda miskin yang sedang memasukkan uang derma. Jumlahnya 2 keping perunggu. Dalam bahasa Yunani disebut 2 lepta yang setara dengan 1 kondrantes. Berapa rupiah tuh? Hahaha…sayangnya nggak kesampaian otak saya mengutak-atik nilai tukarnya di jaman serba ajib sekarang ini. Ya saya percaya saja bahwa jumlah itu mestinya sangat berharta. Ya iyalah Yesus sendiri yang mengatakan "Aku berkata kepadamu, (nah tuh kan) sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyak dari pada semua orang yang memasukkan uang ke dalam peti persembahan. Sebab mereka semua memberi dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya." Nilainya memang sama sekali tidak penting. Tetapi derma itu diberikan sepenuh hati, setulus jiwa. Derma itu bukan pameran kekayaan, yang justru menghilangkan nilai keluhurannya, tetapi ungkapan batin. Dan derma yang muncul dari dalam hati itu menjadi sangat mulia dihadapan Allah karena sikap batinnya, bukan jumlah dan banyaknya. Memang tidak diceritakan dalam injil ini bagaimana kemudian Yesus memberkati seluruh hidup si janda itu. Tetapi saya yakin demikian.

Tak kalah menarik adalah 1 Raj 17:10-16, berkisah tentang nabi Elia yang bertemu dengan (lagi-lagi) janda di suatu sumur. Pastinya terjadi ratusan tahun sebelum jaman Yesus. Dalam perjalanan dari tepi sungai Kerit di timur sungai Yordan ke Sarfat, nabi Elia yang lapar itu meminta dibuatkan roti. Nabi Elia tidak serakah, ia hanya minta roti kecil saja. Dalam perjalanan sebelumnya, ia hidup dengan memakan makanan yang “disajikan” oleh sekawanan burung gagak. Burung gagak? Aneh sekali bukan? Tetapi itulah rencana Allah pada nabi Elia. (bdk 1 Raj 17:6) Janda itu lalu membuat roti bundar kecil bagi nabi Elia dan baru kemudian membuat roti bagi dirinya sendiri dan anaknya dari sisa-sisa bahan makanan yang ada. Padahal saat itu mereka sedang dilanda musim kemarau. Mungkin benar juga bila dikatakan nabi Elia agak memaksa. Tetapi nyatanya janda itu mau juga membuatkan roti.

Saya tidak berani berandai-andai menjadi nabi Elia. Karena rasanya, terlalu kurang ajar begitu kalau beridentifikasi dengan tokoh sesuci nabi Elia. Apalagi dalam suatu penampakan Yesus tampil bersamasama dengan nabi Elia. Selain nabi Musa, nabi Elia adalah nabi besar di jaman sebelum Yesus. Tetapi biarpun laki-laki, saya mau berpura-pura menjadi si janda. Kalau saya adalah si janda itu, tentu saya menolah permintaan nabi Elia. Karena persediaan makanan yang ada saja sudah tidak mencukupi untuk menyambung hidup kok. Secara logika, saya harus menolak permintaan ini. Jadi dari balik kerudung, akan saya sampaikan penolakan dengan nada tegas (lebih tepat, judes).

Saya sudah bolak-balik mengkaji nalar saya, ternyata memang sangat sulit meniru sikap para janda itu. Tetapi selalu terngiang-ngiang bahwa saya harus meniru sikap batin janda-janda itu. Semakin nalar menolak, semakin batin menjerit. Pada suatu waktu saya merasa seperti tidak henti ditampari karena terlalu pelit. Akhirnya hanya ada satu pilihan, saya harus nekad memberi kesempatan pada batin untuk unjuk rasa. Nekadnya batin itu pernah juga terwujud nyata. Pada suatu waktu, saya dermakan semua uang yang ada pada dompet. Sreeet...blas. Habis sudah. Logikanya saya akan sengsara, karena sudah tidak ada lagi uang saku untuk membeli apapun. Tetapi...nyatanya saya malah petentang-petenteng, pringas-pringis, ketawa-ketiwi. Ada perasaan plong. Tidak jelas lepas dari apa...tetapi memang demikian. Selain efek langsung: tong-pes, berderma demikian terbukti juga memberi efek samping. Apa itu? I felt happy. Benar! Perasaan semacam itulah yang melingkupi diri saya, setidaknya hingga saya tiba di rumah. Did I fell blessed? Apakah benar itu berkat Tuhan? Entahlah, saya tidak berhak mengklaim demikian.

Tetapi silahkan mencoba sendiri. Sekali-sekali anda perlu juga melakukannya suatu waktu. Sekedar sebagai pembuktian, benar tidaknya. Jangan pikir panjang! Jangan pikir untung rugi. Kalau ada sedikit rasa ragu, itu sangat wajar. Tetapi berdoa sedikit saja, dan lakukan. Kuraslah isi dompet anda. Lalu alami perasaannya. Bagaimana rasanya? Hehehe...kalau suka, sering-seringlah mengulanginya lagi.

Sabda Bahagia

Pekan Biasa XXXI, 1 November 2009,
Bacaan Ekaristi: Why 7:2-4, 9-14; 1Yoh 3:1-3; Mat 5:1-12a


Membaca Mat 5:1-12a, saya membayangkan Yesus yang duduk di bukit terlihat kecil dan saya yang memandang dari kejauhan. Di sekitar saya, para murid dan orang (sangat) banyak berkerumum. Kami semua asyik menyimak pengajaran Tuhan. Tetapi juga terbayang sikap skeptis beberapa orang. Di antara mereka ini adalah para ahli kitab Taurat dan pemuka agama. Bagi mereka, pengajaran Yesus tak ubahnya gangguan. Yesus dianggap mengganggu kekhusukan umat Yahudi karena ajaranNya dipandang nyeleneh. Yesus memang secara terang-terangan menyerang keberadaan mereka (bdk Mat 5:17-48). Padahal mereka ini kelompok yang sangat elit di kalangan orang Yahudi. Tidak hanya memiliki engaruh kuat, mereka juga memiliki banyak pengikut fanatik. Jangankan gentar, Yesus malah dengan gagah lantang dan terbuka menghujat mereka.

Tentu saja para ahli kitab itu gusar. Memangnya siapa sih, Yesus itu? Berani-beraninya Ia mengumbar janji: “kalau mereka begini, maka akan begitu; kalau bla-bla-bla maka kalian akan bli-bli-bli”. Dan bagi para ahli kitab itu, janji Yesus adalah janji yang terdengar luar biasa nekadnya. Bagaimana tidak? Seorang manusia bisa menjanjikan kepada para murid dan pendengarnya akan melihat Allah, menjadikan anakanak Allah, bahkan tidak sekedar menjadi penghuni tetapi bahkan pemilik kerajaan Surga! Ini jelas adalah sikap menghujat Kemahamuliaan Allah. Saha atuh, Yesus teh?

Bagi mereka, Yesus dianggap sebagai anak seorang tukang kayu dari Yerusalem, yang dilahirkan hanya di kandang ternak di Bethlehem. Yesus sama sekali bukan orang hebat, apalagi Nabi, apalagi Messias, apalagi Anak Allah yang turun menjadi manusia. Yesus hanyalah orang udik & melarat' yang terlalu sensitif dan sangat cerewet. Mengapa? Karena ada rasa iri dan dengki yang sedemikian hebat yang menutupi mata hati mereka untuk menyaksikan kebenaran Tuhan. Rentetan peristiwa mukjijat hanya dianggap sebagai penyembuhan serba kebetulan. Jadi Yesus tak lebih tabib belaka. Bisa jadi, Yesus juga dianggap seperti the master, alias pesulap melalui mukjijat-mukjijat lainnya. Paling bagus, Yesus dianggap anak ajaib karena mampu berdiskusi berjam-jam dengan para imam Bait Allah mengenai kitab Taurat dan hukum yahudi. Tetapi itu karena mereka belum menyaksikan kemuliaan Tuhan. Saat itu mereka belum menyaksikan keagungan misteri Paskah.

Lain para ahli kitab, lain pula kita. Kita tidak seperti para ahli kitab itu. Kita sangat beruntung telah menyaksikan misteri Paskah, yakni bahwa Yesus telah bangkit. Setelah kebangkitan Kristus itulah kita sekalian menjadi anak-anaknya. Gereja adalah ibu bagi kaum beriman. Gereja secara turun-temurun melestarikan dan meneruskan pengajaran Yesus itu. Gereja mengarungi jaman dan bergaul dengan berbagai budaya hingga sekarang. Dan melalui Gereja, kita telah memperoleh bukti bahwa memang Yesus itu sungguh manusia tetapi sekaligus sungguh Allah. Lewat misteri paskah, Yesus telah menunjukkan kemenangannya atas maut dan menebus dosa manusia. Luar biasa beruntungnya kita, bukan? Sangat benar bahwa apa yang telah ada sejak semula itu yang telah didengar, yang telah dilihat, yang telah disaksikan dan bahkan telah alami oleh GerejaNya itulah yang dinyatakan kepada kita. Gereja tidak membual supaya kita terheran-heran dan kagum. Tetapi Gereja telah bersaksi atas hidup dan ajaran Tuhan. Kesaksian inilah yang kita terima. Supaya apa? Supaya kita disatukan dalam Gereja itu sendiri. Dan juga supaya kita kemudian bersatu dengan Allah dan PuteraNya. Hebat, bukan? (Bdk 1 Yoh 3:1-3 )

Jadi karena Yesus memang sungguh Tuhan, maka benarlah semua perkataanNya. Semua janji itu pasti akan dipenuhiNya. Bukan pepesan kosong, bukan pula muslihat. Sebagai Tuhan, Yesus punya hak untuk menyampaikan janji-janji itu. Kalau toh ada yang mengatakan bahwa sabda itu ibarat tiket masuk surga, tidak salah! Sebab masuk surga itu berarti memasuki suatu kehidupan abadi yang membahagiakan. Itu sebabnya perikop ini dinamai Sabda Bahagia.

Kalimat pertama Tuhan, agak sulit saya mengerti. Begini sabdaNya: “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga” Bagi saya, menjadi kaya itu prasyarat untuk berbahagia. Sedangkan miskin adalah keadaan yang sama sekali terbalik. Saya pernah miskin, tak punya uang sepeserpun. Saya bahkan pernah kelaparan. Ketika itu saya sedang belajar bekerja. Dan saya memilih mengisi waktu libur kuliah saya dengan menjadi pekerja kasar. Saya menjadi kuli bangunan di kawasan Pluit. Upah saya sehari Rp.1,250. Karena saya ingin merasakan miskin yang sesungguhnya, maka tidak hanya jam tangan, bahkan uang pun saya tinggal di rumah. Ternyata upah harian itu baru dibayarkan di akhir pekan! Jadi selama seminggu bekerja saya tidak dibayar. Jangankan untuk makan, uang untuk membeli minum pun tidak ada. Padahal saya bahkan harus membeli air untuk mandi, cuci dan (maaf) kakus. Untungnya, masih ada beberapa ribu yang tersisa dari ongkos bus kota. Tetapi itu hanya cukup untuk membeli sebungkus nasi setiap hari dan 2 kantong air putih serta satu kantong air teh manis. Bayangkan bagaimana rasanya kehausan dan kelaparan itu. Karena saya selalu kebagian pekerjaan di bawah matahari langsung yang sedang lucu-lucunya bersinar terik. Saya memang berhasil mencapai tujuan mengisi liburan. Tetapi keberhasilan itu tidak membahagiakan saya malah menyengsarakan. Kesimpulan saya, ternyata miskin itu derita dan kelaparan itu siksaan yang membuat derita itu semakin lengkap.

Jadi apa maksudnya dengan miskin yang membahagiakan? Oh ya...saya lupa bercerita bahwa uang sisa ongkos saya itu hanya cukup untuk 2 hari saja. Benar! Selebihnya saya mengharapkan belas kasihan pemilik warung untuk memberi saya nasi dan lauk pauk serta air minum. Saya berjanji untuk membayar bila mandor telah memberi saya upah sepekan. Sebelumnya saya bahkan sudah berancang-ancang akan mengemis iba dari pemilik warung itu, demi sebungkus nasi dan sekantong air putih. Tetapi syukurlah, wajah saya sudah sedemikian memelas karena makan terakhir saya adalah kemarin siang. Maka tanpa banyak kata-katapun ia “meminjami” saya makan siang dengan nasi menjulang dihiasi beberapa kerat tempe dan air sup supaya tidak seret. Rasanya? Mak nyus. Lucu ya? Padahal saya ingat betul, saat itu saya menikmati makan siang itu sambil menangis. Bagi saya, itu rejeki! Karena makanan itu menyelamatkan saya tidak hanya dari kelaparan tetapi juga ancaman kematian. Dan makanan itu memberi saya kekuatan untuk tetap bekerja di tengah panas dan memberi saya cukup darah untuk diserbu nyamuk rawa-rawa Pluit.

Maka menjadi miskin di hadapan Tuhan bagi saya, ibarat berdiri kelaparan dihadapan pemilik warung yang berbadan subur itu. Menjadi miskin tak lain berarti menjadi tak berdaya apa-apa selain mengiba pada belas kasih Tuhan. Dan kelaparan di hadapan Tuhan adalah lapar dan dahaga akan pengampunan dan penyelamatanNya. Pemilik warung, yang iba hati itu, yang murah hati itu, yang telah menyelamatkan saya itu, bagaikan kehadiran Tuhan dalam hidup saya. Karena tanpa belas kasih Tuhan, niscaya saya akan mati binasa sia-sia. Jadi sepiring nasi dan sekantong air dari pemilik warung itu mengajarkan saya suatu kenikmatan istimewa. Betapa luar biasanya nikmat berjumpa dengan Tuhan pada saat jiwa saya begitu miskin, semangat saya begitu loyo dan gairah sangat dahaga. Saat itu bisa begitu absurd, karena menangis pun bisa berarti sangat bahagia.

Kalimat-kalimat Yesus Kristus lainnya dalam Sabda Bahagia itu jauh lebih mudah dipahami. Karena maknanya sudah sedemikian harafiah. Tetapi masalahnya, saya jauh dari siap menerima pemenuhan janji Tuhan. Terus terang, saya bahkan belum mengerjakan semua syarat-syarat itu. Saya masih berusaha (dengan sangat) keras. Bagaimana dengan anda? Mau?

Perbuatan Saya (Bukan) Pernyataan Iman Saya

Pekan Biasa XXIV - 13 September 2009,
Bacaan Ekaristi: Yes 50:5-9a; Yak 2:14-18; Mrk 8:27-35



Ketika masih remaja, saya sering ikut teman-teman sekolah pulang berlibur. Mereka tinggal di pedesaan di Jawa Tengah. Sebagai remaja kota, saya menikmati semua pengalaman itu. Dan saya memperhatikan hampir setiap detil. Antara lain, adanya kendi di hampir semua pintu pagar halaman rumah. Mungkin tidak tepat disebut pintu, karena memang semua pagar tidak berpintu. Juga di rumah kawan saya itu, ada kendi dengan sumbat kayu di bagian atas dan gelas alumunium terkait pada mulut kendi. Mengapa ada kendi semacam itu? Apa guna kendi-kendi itu? Apa isi kendi itu? Siapa yang menyiapkan kendi itu?

“Kendi itu berisi air minum. Siapa saja yang haus boleh mampir dan meminum air itu. Kami mempersiapkan air minum itu. Setiap sore selalu diganti dengan air matang yang baru. Kalaupagi rasanya segar sekali.” Jadi setiap orang yang hilir mudik melewati rumah-rumah itu tidak perlu khawatir kehausan. Tidak hanya di pintu pagar rumah teman saya itu, tetapi juga di rumah-rumah lainnya. Ada air minum yang siap saji dan boleh mereka minum begitu saja. Jangankan membayar, bahkan perlu permisi pun tidak. Karena mungkin tuan rumah pemilik kendi itu bisa saja sedang berada di sawah ladangnya. Jadi tidak perlu meminta ijin sebelum minum. Memang demikianlah maksud pemilik kendi-kendi itu, supaya siapapun yang haus bisa langsung meminum airnya. Begitu penjelasan kawan saya itu. Karena baginya, tidak ada yang istimewa dengan keberadaan kendi itu, maka datar saja penjelasannya.

Tetapi bagi saya tidaklah demikian. Kendi itu sangatlah istimewa. Setidaknya ada 3 hal yang membuatnya istimewa. Pertama, kendi itu adalah wujud kepedulian tuan rumah pada orangorang yang lalu lalang. Karena sebagian besar yang lalu lalang adalah anak-anak sekolah, pedagang dan petani. Di masa itu kendaraan motor masih jarang terlihat di sana. Jadi, mereka hilir mudik dengan berjalan kaki atau naik sepeda. Setelah diterpa cuaca terik atau diguyur hujan, segelas air kendi yang sejuk pastilah sangat menyegarkan. Anda yang belum pernah minum air kendi yang telah disimpan semalaman di udara terbuka, tentu sulit membayangkan kesegarannya. Kedua, kendi itu adalah lambang kesetiaan. Setia untuk terus menerus mengganti isi kendi dengan air matang yang baru setiap sore. Padahal mungkin tuan rumah juga masih kelelahan setelah berdagang atau bertani seharian. Tidak peduli air itu masih penuh, tuan rumah pasti mengganti isinya. Jadi para musafir, sebutlah begitu, sama sekali tidak perlu khawatir akan sakit perut bila meminum air itu. Ketiga, keberadaan kendi dengan segala filosofinya itu sama sekali asing dalam dunia saya, remaja yang tumbuh di perkotaan.

Lebih dua puluh lima tahun kemudian, saya sudah bisa membeli kendi. Dan saya tentu boleh menempatkannya di ujung pagar rumah saya sendiri. Tetapi itu tidak pernah saya lakukan. Mengapa? Setidaknya karena 3 hal juga. Pertama, saya khawatir dianggap aneh atau 'nganehnganehi' (berperilaku aneh) karena menyediakan air di dalam kendi. Hari gene menjadikan kendi sebagai tempat minum saja sudah aneh. Menempatkan kendi di pagar rumah tentu lebih aneh lagi. Kedua, saya khawatir kendi itu akan hilang atau rusak. Kendi mungkin dicuri atau diambil siapapun sebagai souvenir karena dianggap barang langka. Atau bisa rusak dijadikan sasaran permainan anak-anak, adu jitu menembak atau melempar batu. Ketiga, karena saya terlalu sempit memahami, terlalu dangkal meniati dan terlalu dalam mengkhawatirkan.

Kedua hal pertama yang menjadi alasan saya itu jelas sama-sekali belum pernah terbukti. Keduanya mungkin sangatlah sepele, sangat tidak masuk akal dan sangat naif. Mengapa? Pertama, karena memang saya belum pernah membeli kendi apalagi menempatkannya di pagar rumah saya. Jadi, bagaimana mungkin tetangga saya atau siapapun yang lewat di depan tumah saya akan menganggap saya 'nganeh-nganehi'? Kedua, karena kendi itu tidak pernah ada di pagar rumah saya, jadi sebenarnya saya tidak perlu khawatir akan hilang atau rusak, bukan? Tetapi keduanya sungguh nyata. Nyata menghalangi saya untuk melakukan sesuatu bagi sesama.

Menyadari hal itu sekarang saya meringis. Hikss … jangan dibayangkan jeleknya. Kalau bertemu Rhoma Irama tentu ia akan berkata kepada saya dengan nada khasnya,“Ter-la-lu!” Apalagi setelah saya membaca surat Yakobus 2:14-18. Aduh, malu deh. (Tetapi kalau anda masih mencari-cari letak urutan Yak 2 diantara Perjanjian Lama atau Perjanjian Baru, tidak usah malu. Karena itu salah satu ciri umat Katolik. Hahaha … peace.)

Mengapa saya malu? Karena seminggu sekali saya mengucapkan syahadat para rasul. Karena entah berapa kali sehari seumur hidup ini saya berdoa dengan doa Yesus: Bapa Kami. Karena di tengah-tengah masyarakat, saya mengaku katolik. Karena untuk urusan iman dan perimanan saya lantang bercakap dan lancar mengetik. Padahal untuk urusan semungil kendi dan sesederhana bejana tanah liat itu, saya mandeg greg! Iman saya belum mencuat dalam perbuatan sepele itu. Malah menciut, cit cit … lebih kecil daripada titik tik.

Maka pas betul bila surat Yakobus itu diamplopi dan ditujukan kepada saya. Rasanya mak pleng! Karena dalam urusan air kendi itu, iman saya kalah telak. Pokoknya nggak banget deh. Jadi kalau saya tidak mampu memberi wujud iman saya melalui urusan sesepele itu, kok ya saya masih berani-beraninya mengaku beriman. Waduh…saya tentu masih sangat beruntung kalau hanya diberi hukuman oleh rasul Yakobus untuk membaca surat itu berulang-ulang. Bukannya distrap berdiri dipekarangan gereja karena saya memang “me-ma-lu-kan”. Saya semakin bertambah malu bila ternyata yang pantas menjalani hukuman itu hanya saya hanya seorang diri. Tidak ada satu orang lain pun dari lingkungan saya, bahkan dari paroki saya.

Jadi, jangan ikuti saya. Suer ya! Biarlah saya sendirian.