Senin, 09 November 2009

Persembahan

Pekan Biasa XXXII, 8 November 2009,
Bacaan Ekaristi: 1 Raj 17:10-16; Ibr 9:24-28; Mrk 12:38-44 (Mrk 12:41-44)



Membaca Mrk 12:38-44, saya terkekeh dalam hati. Sekarang sih sudah tidak jamannya para pastur berjalan-jalan kesana kemari dengan jubah panjang. Trennya sudah berubah. Mereka ini bahkan acap kita temui mengenakan t-shirt dan celana casual. Lebih praktis dan fashionable. Doa-doa yang panjang juga sudah usang. Doa sekarang sudah serba singkat dan lugas. Biasanya hanya 1 menit. Lebih dari dua menit terasa bagai basa basi, menjemukan dan mengantukkan. Umat juga sudah semakin kritis. Mereka menaruh hormat karena sikap positif imamnya, bukan karena jabatannya. Yesus mengingatkan para pemimpin agama yang mencoba membangun citra diri palsu. Bahkan Yesus mengecam setiap upaya memperdaya umat dengan memanfaatkan kepalsuan itu.

Tetapi 3 ayat terakhir, lebih menarik bagi saya. Seperti di gereja kita, ada beberapa kotak derma di bait Allah Yerusalem. Beberapa diperuntukan bagi laki-laki Yahudi, yang memang wajib berderma. Lainnya untuk sumbangan sukarela. Saya membayangkan bahwa Yesus sedang memergoki seorang janda miskin yang sedang memasukkan uang derma. Jumlahnya 2 keping perunggu. Dalam bahasa Yunani disebut 2 lepta yang setara dengan 1 kondrantes. Berapa rupiah tuh? Hahaha…sayangnya nggak kesampaian otak saya mengutak-atik nilai tukarnya di jaman serba ajib sekarang ini. Ya saya percaya saja bahwa jumlah itu mestinya sangat berharta. Ya iyalah Yesus sendiri yang mengatakan "Aku berkata kepadamu, (nah tuh kan) sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyak dari pada semua orang yang memasukkan uang ke dalam peti persembahan. Sebab mereka semua memberi dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya." Nilainya memang sama sekali tidak penting. Tetapi derma itu diberikan sepenuh hati, setulus jiwa. Derma itu bukan pameran kekayaan, yang justru menghilangkan nilai keluhurannya, tetapi ungkapan batin. Dan derma yang muncul dari dalam hati itu menjadi sangat mulia dihadapan Allah karena sikap batinnya, bukan jumlah dan banyaknya. Memang tidak diceritakan dalam injil ini bagaimana kemudian Yesus memberkati seluruh hidup si janda itu. Tetapi saya yakin demikian.

Tak kalah menarik adalah 1 Raj 17:10-16, berkisah tentang nabi Elia yang bertemu dengan (lagi-lagi) janda di suatu sumur. Pastinya terjadi ratusan tahun sebelum jaman Yesus. Dalam perjalanan dari tepi sungai Kerit di timur sungai Yordan ke Sarfat, nabi Elia yang lapar itu meminta dibuatkan roti. Nabi Elia tidak serakah, ia hanya minta roti kecil saja. Dalam perjalanan sebelumnya, ia hidup dengan memakan makanan yang “disajikan” oleh sekawanan burung gagak. Burung gagak? Aneh sekali bukan? Tetapi itulah rencana Allah pada nabi Elia. (bdk 1 Raj 17:6) Janda itu lalu membuat roti bundar kecil bagi nabi Elia dan baru kemudian membuat roti bagi dirinya sendiri dan anaknya dari sisa-sisa bahan makanan yang ada. Padahal saat itu mereka sedang dilanda musim kemarau. Mungkin benar juga bila dikatakan nabi Elia agak memaksa. Tetapi nyatanya janda itu mau juga membuatkan roti.

Saya tidak berani berandai-andai menjadi nabi Elia. Karena rasanya, terlalu kurang ajar begitu kalau beridentifikasi dengan tokoh sesuci nabi Elia. Apalagi dalam suatu penampakan Yesus tampil bersamasama dengan nabi Elia. Selain nabi Musa, nabi Elia adalah nabi besar di jaman sebelum Yesus. Tetapi biarpun laki-laki, saya mau berpura-pura menjadi si janda. Kalau saya adalah si janda itu, tentu saya menolah permintaan nabi Elia. Karena persediaan makanan yang ada saja sudah tidak mencukupi untuk menyambung hidup kok. Secara logika, saya harus menolak permintaan ini. Jadi dari balik kerudung, akan saya sampaikan penolakan dengan nada tegas (lebih tepat, judes).

Saya sudah bolak-balik mengkaji nalar saya, ternyata memang sangat sulit meniru sikap para janda itu. Tetapi selalu terngiang-ngiang bahwa saya harus meniru sikap batin janda-janda itu. Semakin nalar menolak, semakin batin menjerit. Pada suatu waktu saya merasa seperti tidak henti ditampari karena terlalu pelit. Akhirnya hanya ada satu pilihan, saya harus nekad memberi kesempatan pada batin untuk unjuk rasa. Nekadnya batin itu pernah juga terwujud nyata. Pada suatu waktu, saya dermakan semua uang yang ada pada dompet. Sreeet...blas. Habis sudah. Logikanya saya akan sengsara, karena sudah tidak ada lagi uang saku untuk membeli apapun. Tetapi...nyatanya saya malah petentang-petenteng, pringas-pringis, ketawa-ketiwi. Ada perasaan plong. Tidak jelas lepas dari apa...tetapi memang demikian. Selain efek langsung: tong-pes, berderma demikian terbukti juga memberi efek samping. Apa itu? I felt happy. Benar! Perasaan semacam itulah yang melingkupi diri saya, setidaknya hingga saya tiba di rumah. Did I fell blessed? Apakah benar itu berkat Tuhan? Entahlah, saya tidak berhak mengklaim demikian.

Tetapi silahkan mencoba sendiri. Sekali-sekali anda perlu juga melakukannya suatu waktu. Sekedar sebagai pembuktian, benar tidaknya. Jangan pikir panjang! Jangan pikir untung rugi. Kalau ada sedikit rasa ragu, itu sangat wajar. Tetapi berdoa sedikit saja, dan lakukan. Kuraslah isi dompet anda. Lalu alami perasaannya. Bagaimana rasanya? Hehehe...kalau suka, sering-seringlah mengulanginya lagi.

Tidak ada komentar: