Sabtu, 30 April 2011

MARI BERJAYA

Pada waktu mengakhiri ibadah Jumat Agung, pastor paroki berucap, karena umat begitu banyak hadir pada hari ini dan karena mungkin sebagian besar umat tidak hadir pada misa Malam Paskah atau misa Paskah, maka pastor mengucapkan Selamat Paskah voor samua umat. Lalu bergemuruhlah seisi gereja.

Entah mengapa, umat memang memenuhi gereja kami. Kalau di Jakarta, ini memang sangat biasa. Tetapi di Manado, ini luar biasa. Padahal tidak ada misa dengan liturgi Ekaristi, hanya ibadah Jumat Agung. Bagi sebagian, Jumat Agung mungkin sangat berarti. Tetapi Jumat Agung bukanlah puncak perayaan, melainkan Minggu Paskah.

Kisah sengsara derita Tuhan bukanlah klimaks melainkan antiklimaks. Kisah itu adalah perjalanan hidup paling sulit yang harus dijalaniNya. Kita tahu bahwa Tuhan telah mengetahui jauh hari sebelumnya tidak hanya sehari sebelumnya. (Saya tahu bahwa beberapa orang di antara kita tahu kapan saatnya akan tiba, entah bagaimana caranya. Namun bagi sebagian orang yang telah menjadi saksi hidup atas kuasa kasih Tuhan, maka biasanya kuasa kasih Tuhan itu pulalah yang akan melingkupinya di saat-saat terakhir.)

Kebangkitan Tuhan justru puncak peristiwa iman itu. Maka kalau Jumat Agung begitu padat dan khusuk merenungi Tuhan yang menderita, upacara Paskah harus lebih meriah dan gempita karena inilah saatnya kita mensyukuri Kristus yang bangkit jaya.

Semoga semangat Paskah bergema dalam jiwa kita, sepanjang tahun, seumur hidup. Mari bersuka cita karena Tuhan sungguh bangkit. Mari bangkit bersama Tuhan. 
Mari berjaya.

PAKU SALIB

Suatu waktu saya merenungi kisah sengsara Tuhan yang dilantunkan pada ibadah Jumat Agung,di gereja paroki Karombasan Manado. Saya terpekur menatap salib Tuhan. Ada satu bagian kecil yang menarik perhatian saya: paku salib. Lalu saya memejamkan mata.

Paku itu begitu besar dan kokoh. Entah bagaimana bentuk persisnya, tetapi paku sebesar itu pastilah menyebabkan luka dan sakit luar biasa. Saya membayangkan paku itu dipukul kuat-kuat, lalu melesak menembus kulit dan daging, menyeruap di antara otot kaki dan tangan. Tanpa mengacuhkan rasa sakit dan ( tentu saja ) jerit kesakitan, paku itu terus dipukul hingga ujungnya menancap kuat di kayu salib. Belum hilang rasa sakit itu, kayu salib diangkat ditegakkan hingga Tuhan bergantung ( sebenarnya: melekat ) pada kayu salib. Paku itulah yang melekatkan Tuhan pada kayu, suatu perekat yang sangat mengerikan dan menyakitkan.

Paku itu mungkin dibuat pada suatu waktu untuk suatu tujuan. Paku itu tidak pernah berkehendak suatu saat akan melukai Tuhan. Ia tidak punya kehendak, tetapi ia dipaksa demikian dan terjadilah demikian. Seluruh dunia mengutuki si paku sialan itu. Tetapi nyatanya paku telah melaksanakan tugas dengan sangat baik, ia tetap kokoh dan kuat menembus dan melekatkan apa saja. Begitulah.

Paku itu adalah kesaksian. Pada suatu waktu ia telah melukai Tuhan dengan cara yang keji. Tetapi luka Tuhan akibat paku itu menjadi saksi, betapa hebat dan dahsyat penderitaan Tuhan sekaligus betapa mulia dan agung pencitraan Tuhan. Paku itu mengubah kisah hidupnya. Semula rendah tak berarti, kemudian menjadi kejam dan lalu menjadi terpuji. Ada semacam peningkatan.

Hidup juga bisa demikian. Seseorang bisa terpaksa berdosa tanpa ia kehendaki, mungkin karena terpaksa atau karena suatu situasi yang sangat khusus. Bedanya dengan suatu paku adalah bahwa setiap orang, saya dan anda sekalian, punya kehendak bebas. Setiap orang punya pilihan.

Hidup tidak akan runtuh dan luluh lantak hanya karena dosa. Tidak demikian! Tetapi sebaliknya! Hidup bisa mulia dan jaya karena telah berdosa.

Seperti halnya paku itu, yang menjadi saksi betapa mulia derita Tuhan. Kita juga dapat menjadi saksi betapa agung kerahiman Tuhan. Maka semua dosa dan derita kita tidak boleh membenamkan hidup kita. Namun sebaliknya, dosa telah mendekatkan kita pada Tuhan oleh karena kita memilih bertobat dan memohon pengampunannya.

Mari ikut bangkit dan jaya bersama Tuhan. 
Selamat Paskah!

Jumat, 01 April 2011

PASSIO: KISAH SENGSARA TUHAN YANG MENGALAH atau YESUS YANG KALAH

Minggu Palma
17 April 2011

Dalam suatu milis, ramailah didiskusikan perihal tersebut. Sebagian menuliskan bahwa ketika Yesus berdoa, ada ketakutan yang amat sangat. Ketakutan itu sungguh manusiawi, karena Yesus tahu penderitaan sehebat apa yang harus dialami. Yesus mungkin tampaknya kalah, karena tidak dapat menghindar dari jalan hidupNya sehingga harus disiksa sampai wafat.

Sebagian lagi menulis bahwa kendatipun sudah tahu sebelumnya, Yesus tidak terpancing menggunakan kuasa Ilahi untuk menghentikan terjadinya kekejaman pada DiriNya itu. Yesus sengaja mengalah, sengaja membiarkan terjadi penganiayaan itu. Kendatipun sangat menyakitkan dan bahkan mematikan.

Bagaimana menurut anda? Benarkah demikian?

Saat membaca milis itu, saya termangu-mangu. Bolak-balik saya baca Passio, mungkin ada yang terlewat dalam pengertian saya. Mungkin ada yang tidak saya pahami. Hmmm....saya pikir kisah sengsara Tuhan Yesus tidak bercerita soal mengalah atau kalah. Tetapi soal memenangi dan menang.

Memang Tuhan sungguh Allah dan sungguh Manusia. Sebagai manusia, Yesus sempat merasakan takut. Kita boleh menekankan bahwa ketakutan Yesus adalah ketakutan yang amat sangat, ada perasaan ngeri luar biasa. Mengapa? Karena Yesus sudah tahu sebelumnya! Kalau saja kita mengalami pengetahuan yang sama dengan Yesus tentang saat dan cara kita meninggal, kita bisa takut. Wajar, bukan?

Tetapi kisah passio mungkin semacam anti klimaks dalam sejarah hidup Yesus. Karena sesudah itu, terjadilah peristiwa yang luar biasa: Yesus bangkit! Karena passio bukanlah fragmen, bukan sepenggal cerita belaka, maka bagi saya yang terpenting justru berada pada akhirnya....Tuhan Yesus yang menang dan jaya. Dan passio adalah cerita bagaimana Yesus memenanginya.

Selamat memasuki Pekan Suci.



BERSIAPLAH UNTUK MENANG

Minggu Prapaskah V
10 April 2011

Suatu waktu di pulau paling utara Nusantara, saya menerima email. Di bawah nama pengirim tertulis: “Hidup itu pertempuran. Bersiaplah untuk menang!” Waduh...pikir saya. Dahsyat sekali semangat hidupnya. Padahal setahu saya pengirim email itu bertubuh kecil dengan perangai lemah lembut.

Pada kisah Mahabarata, setelah kisah Pandawa berhasil menumpas Kurawa, maka terciptalah kedamaian dan ketenangan. Nyaris tidak ada pergolakan. Hidup yang tenang aman sentosa itu ternyata telah melemahkan semangat juang. Ketika Pandawa harus pergi meninggalkan Astina menuju puncak Mahameru, satu persatu gugur di perjalanan. Yang berhasil tiba di puncak hanyalah Yudhistira dan anjingnya. Pandawa kuat ketika terjadi pertempuran melawan orang lain. Jadi, benarlah ab obice saevior ibit, karena rintangan seseorang semakin hebat. Di negeri kepulauan ini sudah terbukti bahwa laut yang tenang tidaklah menghasilkan pelaut yang terampil.

Tetapi sehebat apapun peperangan tidaklah sebanding dengan perang melawan diri sendiri. Terhadap diri sendiri, kita cenderung tidak tegas, condong melembek. Maka kinilah saatnya kita bersikap tegas untuk menyangkal diri, untuk berubah menjadi lebih baik, untuk bertobat. Vincit qui se vincit, yang menang adalah yang memenangi dirinya sendiri.

Paskah sudah dekat. Jangan lemah dan jangan lelah untuk memperbarui semangat bertobat. Tidak hanya setahun sekali selama masa prapaskah kita perlu bertobat. Melainkan setiap hari, kita harus melawan diri sendiri. Setiap saat harus mampu mengalahkan semua godaan dan ajakan untuk berdosa.

Hmm...vivere militari, hidup itu berjuang. Bersiaplah untuk menang.
Selamat bertobat untuk hidup yang lebih mulia.



HIDUP (BERDOSA) ITU PELAJARAN

Minggu Prapaskah IV
3 April 2011

Pada suatu renungan, seorang imam yang bertugas di Papua menulis demikian. Adalah seorang Guru Buddhis yang terkenal dari India diundang datang ke Tibet untuk membabarkan Dharma. Guru ini membawa serta seorang laki-laki yang tidak hanya bawel dan tidak bertanggung jawab, tetapi juga sebagai tukang masak judes. Setelah beberapa waktu, orang-orang Tibet mendekati sang guru dan berkata dengan penuh hormat, "Mengapa guru begitu tenggang rasa dengan tukang masak yang tidak berguna itu? Ia kelihatannya cuma menimbulkan masalah, alih-alih membantu guru." Sang Guru tersenyum dan menjawab, "Ah, kalian tidak mengerti. Ia bukan pelayanku, ia adalah guruku." Orang-orang Tibet kaget dan memohon penjelasan, "Kenapa bisa begitu?" Sang guru menjelaskan, "Kalian lihat, perangainya yang rewel dan tidak menyenangkan itu telah mengajariku untuk bersikap sabar dan bertenggang rasa setiap hari. Karena itulah aku menghargainya dan menyebutnya sebagai guruku."

Non scholae, sed vitae discimus, bukannya untuk sekolah melainkan untuk hidup kita belajar. Menjadi cantrik atau siswa memang berbatas ruang dan waktu. Ada saatnya studi. Tetapi belajar tidaklah demikian. Proses belajar membuat seseorang semakin pintar, semakin dewasa. Dalam segala hal kita perlu belajar. Mula-mula dalam hal-hal sederhana. Lantas semakin rumit. Bahkan berdoa juga harus belajar bertahap.

Menurut saya sih berdosa itu wajar, boleh-boleh saja namanya juga manusia. Huh...gak salah? Ndak salah, serius kok. Pengalaman itulah guru, historia est magistra. Benar bukan? Bahkan pengalaman bersalah dan berdosa juga bisa mengajarkan sesuatu. Semestinya memang ada efek jera. Ada saat untuk kapok, sehingga tidak melakukannya lagi. Kemarin, hari ini, besok. Sekali lagi bersalah, termasuk berdosa itu pengalaman belajar. Ketika seorang berdosa bertobat, ada pengalaman yang...mungkin awalnya terasa ganjil, tapi kemudian melegakan: pengalaman “bertobat dan diampuni”. Tetapi sesungguhnya itulah salah satu rasa bagaimana diselamatkan. 
 
Menjadi aneh kalau seseorang jadi keseringan berdosa. Apalagi dosanya itu-itu saja, berulang-ulang. Itu namanya pecandu. Ia tidak lagi dapat berhenti melakukan kesalahannya. Ia malah terus-menerus mengulanginya lagi dan lagi. Memang jadinya aneh: berdosa kok konsisten? Lucu! Tetapi pecandu pun bisa punya masa depan di hadapan Tuhan. Ia juga bisa menjadi empunya Kerajaan Allah. “Lhoooo...apa iya?” Iya, benar. Kalau saja dosa itu juga selalu diikuti dengan pertobatan. Jadi, yang konsisten adalah semangat bertobatnya, kehendak untuk selalu menjadi lebih baik, keinginan untuk memperbarui diri.

Banyak kok yang merindukan kuasa kasih Tuhan, dari pagi hingga pagi lagi, 7 hari seminggu, sepanjang tahun, seumur hidup. Tidak hanya selama masa Prapaskah kali ini, tetapi terus sepanjang waktu! Bahkan banyak yang masih mengharapkan kerahiman Tuhan bahkan sesudah hidup usai!!

Mari, bersama-sama saya, kita konsisten untuk bertobat. Jangan malu, jangan ragu, jangan berhenti...