Dalam suatu renungan yang saya terima via email pagi ini, tertulis demkian.
Pak Indra adalah anggota jemaat potensial. Pengalaman berorganisasinya luas, baik di tingkat lokal maupun nasional. Tak ayal lagi ia dicalonkan sebagai ketua panitia Natal. Namun, ada satu masalah. Banyak orang berkata, Pak Indra terlibat perbuatan amoral. Mereka tak bisa membuktikan perbuatan dosanya, tetapi bisa mencium gelagat yang tidak beres. Yang jelas, Pak Indra tidak lagi punya nama baik di lingkungannya. Bolehkah ia tetap dijadikan ketua panitia Natal, dengan asas "praduga tidak bersalah"?
Ketika Rasul Paulus menuliskan syarat menjadi pemimpin jemaat, ia memasukkan unsur "nama baik" (1 Timotius 3:7). Pemimpin harus punya nama baik di masyarakat agar ia tidak digugat orang. Nama baik itu menyangkut citra dan penilaian orang terhadap diri kita. Memang penilaian orang tidak selalu tepat, tetapi sebuah citra buruk pasti melumpuhkan wibawa dan pelayanan kita. Pemimpin bercitra buruk bisa menjadi batu sandungan, bahkan merusak kesaksian gereja. Itu sebabnya Paulus meminta para pemimpin menjadi teladan dalam bertingkah laku (1 Timotius 3:3), berkeluarga (1 Timotius 3: 2,4,5), dan bermasyarakat (1 Timotius 3:7). Tidak cukup ia dinilai orang "tidak terbukti bersalah". Ia harus benar-benar dinilai "terbukti tidak bersalah". Tak bercela.
Punya nama baik bukan cuma penting bagi para pemimpin. Sebagai saksi Kristus, setiap orang kristiani juga harus mempunyai nama baik. Coba renungkan: apa kira-kira kesan orang-orang tentang kita? Sudahkah Anda punya nama baik di lingkungan Anda? Kalau belum, apa sebabnya? Lantas bagaimana memperbaikinya?
~~ORANG KRISTIANI TANPA NAMA BAIK BAGAIKAN BUNGA MELATI TANPA HARUM WANGI~~
Sumber: Renungan Harian
Penulis: JTI
Luar biasa menarik renungan ini. Untuk dicecap-cecap dan dipikir-pikir. Sebenarnya ini isu yang sangat klasik: radikal sekaligus kritikal. Persoalan filosofisnya sejak lama digambarkan sebagai "justifikasi" sebagai azas pembenaran di satu sisi dan "falsifikasi" sebagai azas penyalahan di sisi lain. Contohnya begini. Pernyataan bahwa semua angsa putih adalah benar, selama memang tidak pernah ditemukan adanya angsa yang merah muda, kuning, coklat atau hitam. Sekali saja kita berhasil menemukan bahwa ada angsa yang bulunya tidak berwarna putih, maka pernyataan tersebut harus runtuh demi kebenaran. Disitulah justifikasi dan falsifikasi berlangsung. Ada upaya untuk mencari pembenaran terus menerus. Dan ada juga upaya sebaliknya. Tujuannya sama, mencari kebenaran.
Kembali pada renungan ini. Gereja kita adalah gereja yang sangat manusiawi dalam arti sebenar-benarnya. Bisa tersesat dan bisa benar. Gereja mengklaim bahwa dalam hal-hal yang terkait dengan dogma, ajaran gereja tidak salah alias benar. Namun sejarah gereja (tidak hanya di dunia, tetapi juga Indonesia, bahkan mungkin di paroki kita dan di kring / lingkungan kita) menunjukkan bahwa gereja pernah salah urus, entah misleaded entah misconduct entah mislek (hehe...pis ah). Tetapi sebagai anak-anak gereja, ya kita tetap ke gereja, untuk berdoa, untuk mengaku dosa, untuk berorganisasi atau sosialiasi, bahkan untuk jalan-jalan dan jajan.
Itu tadi gerejanya. Jemaatnya bagaimana? Ya macam-macam. Yang berdosa lalu bertobat kemudian berdosa lagi dan bertobat lagi, banyak. Yang berdosa, lalu berdosa lagi dan nambah dosa terus, baru pada akhirnya bertobat juga banyak. Yang berdosa terus dan selalu lupa bertobat juga ada. Tetapi siapapun itu, rahmat kuasa kasih Tuhan yang bekerja pada mereka tetap sama banyaknya dengan rahmat yang bekerja pada para suci kudus, atau orang-orang yang berhasil memiliki nama harum seperti digambarkan pada renungan tersebut. Bukan "rahmat atas sikap" yang membedakan, tetapi "sikap atas rahmat". Begitulah kepercayaan gereja kita akan kerahiman dan pengampunan Tuhan.
Alinea terakhir dalam renungan itu sangat luhur. Tetapi bagi saya mencecap rahmat pengampunan dan menikmati lembutnya kerahiman Tuhan dalam sakramen Tobat adalah pengalaman luar biasa. Percaya tidak? Bagi yang belum pernah kehausan luar biasa, segelas air tentu kurang berkesan. Tetapi tidak demikian bagi yang sudah pernah mengalami. Memang ini soal pengalaman yang sangat pribadi. Sedemikian pribadinya seperti pengalaman diampuni dari kedosaan, diselamatkan dari maut. Akhirnya bagi saya, sudah tidak penting lagi: siapa uskupnya - siapa pastornya - siapa prodiakonnya - siapa anggota dewan parokinya. Mau benar atau tidak benar siapanya bukan isu penting lagi. Isu pentingnya adalah: adakah pertobatan, adakah perbuatan sebagai buah iman, adakah kasih. (bdk 1Kor: 12).
Saya lantas teringat gambaran Yesus yang mengorek-ngorek tanah dengan santai ketika menghadapi para farisi yang sudah menggenggam batu dengan geram hendak merajam Maria Magdalena. Mau jadi siapa kita? Mau ikut jadi farisi, mau jadi maria magdalena, atau mau ikut Yesus? Hayooo ... mau yang mana, mau jadi siapa dan trus mau apa?
NAMA BAIK
Pak Indra adalah anggota jemaat potensial. Pengalaman berorganisasinya luas, baik di tingkat lokal maupun nasional. Tak ayal lagi ia dicalonkan sebagai ketua panitia Natal. Namun, ada satu masalah. Banyak orang berkata, Pak Indra terlibat perbuatan amoral. Mereka tak bisa membuktikan perbuatan dosanya, tetapi bisa mencium gelagat yang tidak beres. Yang jelas, Pak Indra tidak lagi punya nama baik di lingkungannya. Bolehkah ia tetap dijadikan ketua panitia Natal, dengan asas "praduga tidak bersalah"?
Ketika Rasul Paulus menuliskan syarat menjadi pemimpin jemaat, ia memasukkan unsur "nama baik" (1 Timotius 3:7). Pemimpin harus punya nama baik di masyarakat agar ia tidak digugat orang. Nama baik itu menyangkut citra dan penilaian orang terhadap diri kita. Memang penilaian orang tidak selalu tepat, tetapi sebuah citra buruk pasti melumpuhkan wibawa dan pelayanan kita. Pemimpin bercitra buruk bisa menjadi batu sandungan, bahkan merusak kesaksian gereja. Itu sebabnya Paulus meminta para pemimpin menjadi teladan dalam bertingkah laku (1 Timotius 3:3), berkeluarga (1 Timotius 3: 2,4,5), dan bermasyarakat (1 Timotius 3:7). Tidak cukup ia dinilai orang "tidak terbukti bersalah". Ia harus benar-benar dinilai "terbukti tidak bersalah". Tak bercela.
Punya nama baik bukan cuma penting bagi para pemimpin. Sebagai saksi Kristus, setiap orang kristiani juga harus mempunyai nama baik. Coba renungkan: apa kira-kira kesan orang-orang tentang kita? Sudahkah Anda punya nama baik di lingkungan Anda? Kalau belum, apa sebabnya? Lantas bagaimana memperbaikinya?
~~ORANG KRISTIANI TANPA NAMA BAIK BAGAIKAN BUNGA MELATI TANPA HARUM WANGI~~
Sumber: Renungan Harian
Penulis: JTI
Luar biasa menarik renungan ini. Untuk dicecap-cecap dan dipikir-pikir. Sebenarnya ini isu yang sangat klasik: radikal sekaligus kritikal. Persoalan filosofisnya sejak lama digambarkan sebagai "justifikasi" sebagai azas pembenaran di satu sisi dan "falsifikasi" sebagai azas penyalahan di sisi lain. Contohnya begini. Pernyataan bahwa semua angsa putih adalah benar, selama memang tidak pernah ditemukan adanya angsa yang merah muda, kuning, coklat atau hitam. Sekali saja kita berhasil menemukan bahwa ada angsa yang bulunya tidak berwarna putih, maka pernyataan tersebut harus runtuh demi kebenaran. Disitulah justifikasi dan falsifikasi berlangsung. Ada upaya untuk mencari pembenaran terus menerus. Dan ada juga upaya sebaliknya. Tujuannya sama, mencari kebenaran.
Kembali pada renungan ini. Gereja kita adalah gereja yang sangat manusiawi dalam arti sebenar-benarnya. Bisa tersesat dan bisa benar. Gereja mengklaim bahwa dalam hal-hal yang terkait dengan dogma, ajaran gereja tidak salah alias benar. Namun sejarah gereja (tidak hanya di dunia, tetapi juga Indonesia, bahkan mungkin di paroki kita dan di kring / lingkungan kita) menunjukkan bahwa gereja pernah salah urus, entah misleaded entah misconduct entah mislek (hehe...pis ah). Tetapi sebagai anak-anak gereja, ya kita tetap ke gereja, untuk berdoa, untuk mengaku dosa, untuk berorganisasi atau sosialiasi, bahkan untuk jalan-jalan dan jajan.
Itu tadi gerejanya. Jemaatnya bagaimana? Ya macam-macam. Yang berdosa lalu bertobat kemudian berdosa lagi dan bertobat lagi, banyak. Yang berdosa, lalu berdosa lagi dan nambah dosa terus, baru pada akhirnya bertobat juga banyak. Yang berdosa terus dan selalu lupa bertobat juga ada. Tetapi siapapun itu, rahmat kuasa kasih Tuhan yang bekerja pada mereka tetap sama banyaknya dengan rahmat yang bekerja pada para suci kudus, atau orang-orang yang berhasil memiliki nama harum seperti digambarkan pada renungan tersebut. Bukan "rahmat atas sikap" yang membedakan, tetapi "sikap atas rahmat". Begitulah kepercayaan gereja kita akan kerahiman dan pengampunan Tuhan.
Alinea terakhir dalam renungan itu sangat luhur. Tetapi bagi saya mencecap rahmat pengampunan dan menikmati lembutnya kerahiman Tuhan dalam sakramen Tobat adalah pengalaman luar biasa. Percaya tidak? Bagi yang belum pernah kehausan luar biasa, segelas air tentu kurang berkesan. Tetapi tidak demikian bagi yang sudah pernah mengalami. Memang ini soal pengalaman yang sangat pribadi. Sedemikian pribadinya seperti pengalaman diampuni dari kedosaan, diselamatkan dari maut. Akhirnya bagi saya, sudah tidak penting lagi: siapa uskupnya - siapa pastornya - siapa prodiakonnya - siapa anggota dewan parokinya. Mau benar atau tidak benar siapanya bukan isu penting lagi. Isu pentingnya adalah: adakah pertobatan, adakah perbuatan sebagai buah iman, adakah kasih. (bdk 1Kor: 12).
Saya lantas teringat gambaran Yesus yang mengorek-ngorek tanah dengan santai ketika menghadapi para farisi yang sudah menggenggam batu dengan geram hendak merajam Maria Magdalena. Mau jadi siapa kita? Mau ikut jadi farisi, mau jadi maria magdalena, atau mau ikut Yesus? Hayooo ... mau yang mana, mau jadi siapa dan trus mau apa?