Rabu, 29 September 2010

HEMAT HARUS, PELIT JANGAN

Pekan Biasa XXVI
26 September 2010

Dari kami berlima, hanya saya yang paling hemat. Uang jajan itu saya simpan di tempat yang tidak mereka duga. Di dalam mainan rusak. Di dalam mixer pengaduk adonan kue. Di bawah tegel. Uang tabungan itu kadang-kadang menyelamatkan ibu di akhir bulan. Tetapi saudara-saudara memberi saya stempel “pelit”. Perlu waktu bertahun-tahun bagi mereka untuk menyadari bahwa saya bukan pelit tetapi hemat. Untungnya, pacar saya hanya butuh beberapa bulan untuk menyadari hal itu. Beberapa tahun kemudian baru kami menikah. Hihihi...

Saya dulu tetap rajin bersepeda ke kampus. Sampai sekarang selalu membawa bekal makan siang ke kantor. Meskipun sol sepatu saya sudah ganti beberapa kali (kulit sepatunya masih bagus, hanya solnya yang sudah miring), tetapi masih saya pakai kemana-mana bahkan saya pakai dinas ke luar negeri. Akibat hemat, saya berhasil menabung lalu membeli rumah dengan beberapa mobil, tanpa pernah menikmati kredit (bahkan tidak tahu cara mengajukannya). Hehehe....

Tapi itu semua sangat tidak penting. Yang lebih penting adalah mencermati bacaan injil pekan ini (Luk 16:19-31): tentang orang kaya dan orang miskin, yang bernama bapa Lazarus. Jadi orang kaya tentu tidak dilarang. Kaya sangat dibolehkan. Hanya jangan pelit atau kikir. Memang rasanya menjengkelkan membaca bacaan injil ini. Apalah arti remah-remah makanan di antara kelimpahan mamiah (= makanan minuman mewah). Tapi namanya juga bacaan pelajaran iman, biar cespleng dikasih contoh ekstrim saja sekalian.

Inti pelajarannya adalah bahwa rejeki itu harus bermakna sosial. Kaya itu tidak sekedar hak, melainkan juga kewajiban. Bukan sekedar hak atas harta benda. Tetapi juga kewajiban untuk berbagi. Pada kekayaan ada menerima dan memberi. Ada penerimaan berkat berlimpah-limpah yang tidak hanya secukupnya untuk hari ini, seperti mungkin didoakan setiap hari (Hmm...dalam doa apa ya?). Tetapi juga ada keharusan untuk membocorkannya bagi orang lain yang kurang beruntung.

Menjadi kaya berarti harus tahu diri, bahwa kekayaan itu adalah titipan Tuhan. Bahwa Tuhan menitipkan kesejahteraan yang begitu berlimpah, hingga harus dibagikan kepada sesama. Menjadi kaya juga berarti pilihan Tuhan. Bahwa Tuhan memilih sebagian dari kita untuk menerima berkat agar mau menjadi selang rahmat, menyalurkannya kepada sesama kita. Maka menjadi orang kaya itu sangat bernilai sosial.

Kalau begitu arti kaya itu, maka kikir alias pelit adalah sebaliknya. Kikir adalah penggelapan atas kesejahteraan yang telah dilimpahkanNya dalam rupa rejeki. Dan dengan demikian, menjadi kikir berarti menolak menjadi saluran rahmat Tuhan bagi sesama. Maka menjadi orang kikir itu sangat asosial.

Kalau begitu arti kikir itu, pantaslah Tuhan jengkel. Bukan hanya kita.

BERBAGI APA (SAJA)?

Pekan Biasa XXV
19 September 2010

Berbagi atau sharring adalah sosialita. Tidak hanya di dunia kita, tetapi juga di dunia hewan. Yang dibagikan bisa apa saja. Bisa benda, bisa rasa. Soal benda, kita bisa curang. Soal rasa, lidah tentu bisa bohong. Berbagi rasa atau curhat adalah salah satu kata yang sering diucapkan remaja putri. Sedangkan berbagi benda adalah salah satu kegiatan yang sering dilakukan remaja putra.

Menarik menyimak bahwa bacaan pertama pekan ini dari kitab perjanjian lama (Am 8:4-7) juga membahas kecurangan. Dan ternyata bacaan injil pekan ini (Luk 16:1-13) juga membahas masalah ini. Meskipun bahasannya sama, tetapi pendekatannya berbeda. Setidaknya ada 2 trend, lama dan baru. Trend lama menganggap bahwa curang itu ya curang. Cheat is cheating. Saklek. Nalar tidak perlu merancau jauh-jauh. Logika berpikir yang hanya hitam atau putih. Tidak ada warna antara. Tidak ada abu-abu, putih kehitaman, hitam keputihan, agak hitam atau nyaris putih.

Tapi trend itu sudah berubah. Saya mencerap adanya nalar baru. Karena bagi Yesus, curang ya tetap curang, akan tetapi.... (pelawak Alm Asmuni bilang, "lha ini penting sekali") kalau curang jangan sendirian. (Bdk Luk 16:8-9) Logika yang sama dipakai oleh Ivanhoe atau Robinhood. Yang baru adalah bahwa tindakan yang keliru bisa benar atau dibenarkan. Kesimpulan ini harus dimengerti dengan sangat hati-hati. Istilah tivinya, perlu bimbingan orang tua. Kalau kurang yakin, lebih baik ditayangkan terbatas/restricted.

Perlu hati-hati karena bisa berbahaya. Bahayanya apa? Bahaya karena kesimpulan itu dapat dipakai sebagai alasan pembenaran semua tindakan sosial yang mengarah pada tindakan asosial. Sosial yang asosial itu apa? Itulah KKN! Musuh besar KPK dan isu besar Republik ini adalah wujud nyata tindakan sosial (oleh lingkup lebih kecil) yang sangat merugikan masyarakat (lingkup luas). Yang diuntungkan dengan KKN tentu oknum dan ceesnya: keluarganya, teman-temannya, kerabatnya, sahabatnya, orang-orangnya, bawahan atasannya. Yang dirugikan pastilah tak terbilang, baik jumlah orangnya maupun materinya. Yang tidak kebagian tetapi ingin dibagi juga termasuk perlu merasa rugi.

Tapi Robinhood dibenarkan. Kata siapa? Pencuri itu selalu dikejar-kejar satpol hutan Sherwood. Kisah Robinhood menjadi legenda dan pelajaran. Pencurian dan perampokannya tetap salah (berapa korban luka atau meninggal akibat kekerasannya?). Tetapi ia menjadi favorit karena sikapnya yang flamboyan dan dermawan. Sifat yang terakhir ini sangat disukai Tuhan Yesus. Tuhan banyak bercerita tentang kedermawanan. Janda miskin yang dermawan. Orang samaria yang baik hati. Tuhan bahkan menegaskan “apabila engkau tidak melakukan sesuatu bagi saudaramu yang paling hina itu, engkau tidak melakukannya untuk-Ku.”

Memang ada standar ganda. Tuhan tidak melihat tindakan melainkan hati pelaku. Sedangkan hakim menilai perbuatannya.

Kalau curang bersama-sama dan hasilnya dibagi sama-sama, bagaimana? Ya itu tetap saja KKN, hanya anggotanya yang diperluas dan bagian masing-masing diperkecil. Berbuat salah ya keliru, tapi kalau bersalah beramai-ramai itu ya bukannya jadi benar tapi ya tetap salah.

Semakin pusing? Jangan, kita harus semakin cerdik. Sebab anak-anak dunia ini lebih cerdik terhadap sesamanya dari pada anak-anak terang. (Bdk Luk 16:8). Jelas tidak bedanya, anak terang dan anak dunia, ya? Nah, kalau yang dimaksud anak terang dunia?

Ahhh ... semakin pusing. Lebih baik jadi anak Tuhan saja.

DRAMA YANG (jangan) HILANG

Pekan Biasa XXIV
12 September 2010

Dengan teman sekolah dulu, kami pernah mendramatisasi ayat ini. Sebelum menyusun teks dramanya, saya harus bolak-balik membaca perikop ini. Dan sejak saat itu saya tahu bahwa yang sebenarnya hilang bukanlah si anak bungsu yang kurang ajar, nakal, bengal dan bejad. Bukan, karena bapa yang baik hati itu 2 kali bersorak: "Sebab anakku ini telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali." (Bdk Luk 15:24 & 32) Kalau bukan si bungsu, maka siapa yang hilang? Benar, si sulung. Si sulung yang marah karena ayahnya murah hati dan menerima kembali si bungsu itu, tidak mau masuk tenda dan ikut berpesta syukur. Bahkan hingga cerita itu usai, tidak dijelaskan bagaiamana kelanjutan sikap si sulung: tetap marah, tetap diluar tenda atau bagaimana.

Menyusun drama, berarti menyusun pelaku. Saya harus mencari siapa penggembiranya, siapa yang menjadi pegawai, khalayak ramai, pelacur bahkan hewan ternak (karena tidak mungkin menggiring babi, kambing apalagi lembu ke atas pentas bukan?). Lalu saya juga harus mencari 3 figur utama: si bungsu dan si sulung, dan tentu saja bapa yang baik hati itu. Yang pertama sih sangat gampang, yang kedua gampang, tapi yang ketiga ternyata sangat sulit. Sangat sulit mencari personifikasi bapa yang paling pas dalam perikop ini. Bahkan figur bapak saya juga tidak pas, karena beliau sangat tidak mungkin menghambur-hamburkan uang meskipun saya nangis darah memintanya. Saya kehilangan pemeran yang tepat.

Begitu sulit menetapkan pemeran bapa itu sampai saya agak putus asa. Supaya drama tetap bisa berjalan, maka dicari pemeran yang suka-tidak-suka agak pas. Tidak ada rotan akarpun jadi. Karena bapa yang seperti itu, menurut saya hanyalah Bapa di Surga. Bapa yang sangat murah hati kepada kami dan anda. Bapa yang pengampun. Karena sangat luarbiasa sifat-sifatnya maka kita akan selalu wajib menyelipkan kata maha. Bapa yang maha murah hati. Bapa yang maha pengampun. Dan Bapa yang seperti itu hanya satu: Bapa kami yang di Surga. Tapi berapa banyak bapak-bapak diantara kita sekarang? Apakah kita dapat menjadi bapa seperti bapa yang baik hati itu?

Maka saya mengajak anda untuk tidak menghilang. Janganlah hilang, sebagaimana si bungsu itu. Apapun dosa kita, selalu ada kesempatan untuk bertobat, meminta ampun dan maaf. Janganlah hilang, seperti si sulung itu. Namun bersukacitalah senantiasa dan bersyukurlah, sebab ada banyak sekali alasan untuk itu. Janganlah hilang, seperti si bapa, orang tua yang baik hati itu. Karena luaslah batin kita untuk mengasihi dan mengampuni, dan justru sesaklah hati kita untuk menyimpan dendam.

Janganlah hilang, sebab besarlah suka cita di surga.

PENDAFTARAN

Pekan Biasa XXIII
5 September 2010

Banyak sekali dibuka pendaftaran. Entah pendaftaran sekolah, pendaftaran kepegawaian, pendaftaran kependudukan, pendaftaran pasien, bahkan mau makan di tempat favorit pun harus daftar booking dulu. Luar biasa memang. Yang biasa adalah bahwa untuk mendaftar ada syaratnya. Entah administratif, maupun kualitatif. Mau daftar booking tempat makan juga harus mencatatkan nama dan - tentu saja - mesti siap bayar tagihan. Pokoknya ada pendaftaran ya ada persyaratannya.

Mau daftar menjadi pengikut Tuhan Yesus juga ada persyaratannya. Dan persyaratan itu dinyatakan dengan sangat ekstrim. (Bdk Luk 14:26-33). Dalam bahasa yang lebih bersahabat kira-kira begini:

ayat 26. harus siap meninggalkan keluarganya, bahkan siap kehilangan hidupnya. Kata benci pada ayat ini digunakan sebagai bentuk sarkastik, kata kasar yang menekankan bahwa sayang pada keluarga yang bisa menghalangi cinta kasih kepada sesama. Nepotisme adalah salah satu bentuk yang paling riil, bahwa sayang keluarga bisa sangat menghancurkan nasib orang lain.

ayat 27. harus setia menjalani hidupnya yang mungkin penuh kesulitan sebagai pengikut Yesus. Siapa yang tidak merasa sulit jadi murid Tuhan Yesus: bila harus ditampar pipi kiri harus menyerahkan pipi kanan (boro-boro membalas), harus berdoa untuk orang yang menganiaya hidupnya, harus selalu memaafkan (cape deh berhitung 7x7, pokoknya harus sering sekali). Sering ada undangan dengan code dress tertentu, mesti berpakaian resmi, atau justru harus pakai jeans dan t-shirt putih, dlsb. Nah code dress mutlak perjamuan Tuhan adalah mengenakan cinta kasih dan memanggul salib.

ayat 28-32. harus memikirkan dan mempertimbangkan segala pilihan hidup dengan sangat baik dulu sebelum memutuskan pilihan hidup. Bukan hanya urusan menikah atau tidak menikah atau beli tunai atau pakai kredit. Tetapi juga mau punya anak berapa, pacaran dengan siapa, mau tinggal dimana, kerja dimana, kredit sama siapa, dlsb. Mau jadi imampun setiap tahun selalu ditanya pembimbing rohaninya dan superiornya: mau terus atau tidak. Biarpun nyatanya Gereja Katolik krisis imam, tapi kalau jawabannya 'tidak' ya dipersilahkan meninggalkan biara atau seminari. Karena sekali menjawab 'ya bersedia', seperti pada saat sakramen perkawinan, maka ikatan itu akan berlangsung seumur hidup. Tidak ada opsi cancel, apalagi decline. Kalau salah pilih bagaimana? Ya maka dari itulah: pikirkan dahulu. Memangnya enak kalau terlanjur basah ... eh, salah?

ayat 33. harus melepaskan kemilikannya. Kemilikan? Wah ini kosakata baru dalam bahasa Indonesia, tapi mungkin orang jawa mengenal kata kemiliken. Saya sengaja menggunakan kata kemilikan untuk menegaskan bahwa yang menurut saya penting dilepaskan adalah perasaan selalu ingin menguasai harta milik. Karena kata kepemilikan mungkin lebih terkait dengan adanya hak atas harta milik. Harta milik adalah sesuatu yang sangat berguna, untuk membiayai cinta kasih. Tresna ora mung abab ning yo ragad, cinta itu tidak hanya kata-kata atau sebatas ucapan, tetapi perlu biaya juga. Benar bukan? Sama benarnya dengan money is not every thing but some thing.

Selamat hari Minggu.

Kamis, 15 April 2010

RAHMAT atau HUJAT

Pekan Paskah IV

25 April 2010,

Hari Minggu Paskah ke-4

Seperti koin dan pedang yang selalu ada dua sisi, demikianlah berita. Selalu ada (setidak-tidaknya) dua sisi, yang disederhanakan menjadi kabar baik dan kabar buruk. Nyaris semua peristiwa bisa dikabarkan. Melalui pengkabaran itulah suatu berita menjadi baik atau buruk. Contoh, kabar lulus sekolah. Kabar baiknya bahwa siswa berhasil melampaui suatu jenjang pendidikan dan berhak melanjutkan ke jenjang berikutnya. Kabar (yang mungkin) buruknya bahwa siswa harus siap stress untuk bersaing dan berprestasi di tingkat yang pasti lebih sulit dan tentu lebih rumit.


Saya tidak akan membahas hal baik dan buruk yang sangat subjektif dan karena itu menjadi terlalu relatif. Yang penting untuk saya adalah tanggapan setiap orang pada suatu kabar berita yang sama ternyata bisa sangat berbeda. Mungkin dipengaruhi oleh latar belakang budaya dan keyakinan, seperti tanggapan warga non Yahudi (yang kala itu dianggap sebagai bangsa yang tidak mengenal Allah, warga kafir!) di Anthiokia, yang tidak hanya menyambut baik tetapi bahkan menyimak pengajaran para murid. Lain umat non Yahudi, lain pula umat Yahudi. Umat Yahudi malahan memberi tanggapan yang sangat berbeda kepada para murid (bdk Kis 13:45, 50). Luar biasa bukan, bahwa atas kabar berita yang sama bisa mendatangkan rahmat bagi sebagian orang, namun juga memancing hujat dari sebagian orang yang lain.

Namun saya juga tidak membahas lebih dalam bagaimana tanggapan itu seharusnya. Lebih penting bagi saya untuk fokus pada sikap. Bagaimana saya harus menata sikap dalam menghadapi rupa-rupa tanggapan itu.


Teladan sikap dari para murid itu benar-benar jelas dan lugas. Sikap mereka bukan main cuek-nya. Jangankan takut dihujat, mereka malah semakin bersemangat. Bukannya bergeming, malah merangsak terus. Seolah semakin mereka didera, semakin mereka menderu. Hanya saja ketika mereka merasa ditolak, mereka mengebaskan debu kemudian berlalu. (bdk Kis 13:51) Mereka pindah ke tempat lain dan melakukan pekerjaan yang sama dan dengan semangat yang persis sama pula (bdk Kis 5:41).Jadi hikmat bacaan pekan ini bagi saya adalah bahwa saya diajak ikut dalam barisan khafilah yang tetap berlalu itu.

Pada malam tahun baru lalu saya mendapatkan sms, begini: Life is a book. Everyday has a new page with adventures to tell, things to learn, pains to heal and tales to remember. May U have wonderful chapters in 2010.Kalau begitu, hidup kita juga bisa menjadi semacam buku. Yang setiap harinya merupakan halaman-halaman baru yang berisikan petualangan untuk diceritakan, hal untuk dipelajari, luka untuk disembuhkan dan kisah untuk diingat.


Menikmati Kisah Para Rasul sebagai bacaaan, semakin tegas tergambar bagaimana misteri Paskah Tuhan Yesus Kristus telah menyemangati setiap murid untuk mewartakan. Dan bagaimana mereka masing-masing mewartakan kabar gembira itu, apapun resikonya, bagaimanapun sulit. Tidak hanya dengan rangkaian kata-kata, melainkan juga dengan seluruh hidupnya, kabar gembira Tuhan itu dinyatakan dengan jelas.


Bila kita adalah murid kesekian dari murid-murid kesekian dari para murid Yesus Kristus itu maka kita juga diajak untuk mewartakan injil dengan seluruh hidup kita, bukan hanya kata-kata melainkan pikiran dan perbuatan juga. Hasil akhirnya adalah bahwa hidup kita (saya dan anda sekalian) menjadi rahmat dan berkat bagi sesama. Sama sekali bukan kita yang menilai kualitas hidup kita, tetapi orang lain (bisa anak, keluarga, kerabat, sahabat, bahkan musuh).


Tetapi apapun itu, semoga kita dikuatkan untuk hidup seturut injil. Bila sudah demikian, maka di akhir hayat datanglah pengakuan, “Inilah dia, yang hidupnya seturut injil Tuhan kita Yesus Kristus.”


“Terpujilah Tuhan.”

JANGAN-JANGAN KELIRU

Pekan Paskah III
18 April 2010,

Hari Minggu Paskah ke-3

Ketika sekolah, kami mendapat seorang pastor pendamping baru. Menurut kabar berita, beliau adalah seorang imam muda yang cerdas namun sederhana. Tetapi tak seorangpun di antara kami yang mengenal beliau sebelumnya. Hingga tibalah masa perkenalan dengan beliau. Seperti biasa setelah berkumpul di aula, kami semua bersenda gurau sambil lesehan. Sebagian ada yang bernyanyi-nyanyi sambil bermain musik: gitar, flute dan gendang. Lagunya macam-macam. Pokoknya serba hingar bingar. Tapi sang pastor tak kunjung memperkenalkan diri, sementara kami semakin larut dalam keramaian. Sampai suatu saat ada yang mulai iseng, melempar sandal. Ya, kami biasa memakai sandal. Bahkan sekolahpun kadang-kadang hanya bersandal. Dan diantara sandal-sandal itu tentu saja ada sandal jepit, sandal ban karet dan bakiak alias klompen atau sandal kayu dengan pengait dari karet bekas ban. Dan segeralah terjadi perang sandal. Sandal-sandal itu hilir mudik beterbangan, siap menyambar badan dan kepala siapa saja. Ya, siapa saja.

Lalu tiba-tiba, berdirilah seorang pemuda sambil tertawa-tawa mengangkat bakiak yang baru saja mengenai tengkuknya. “Hayo ini punya siapa?”

Alih-alih menjawab, seluruh aula langsung senyap. Wussss... Sunyi sekali beberapa saat. Kemudian ada suara menjawab lirih, “Punya saya, Romo.”
“Ya, silahkan ambil.”
Teman itu beringsut maju dan dengan tetap membungkuk menerima bakiak itu.
“Lho, jangan takut. Saya ndak marah toh. Lihat wajah saya.” Romo tersenyum lebar, berusaha meyakinkan.
Perlahan terdengar cekikikan. Kemudian merambat menjadi tawa. Lantas seluruh aula bergema dengan tawa suka ria.
Itulah perkenalan kami dengan Romo pembimbing kami.
“Ora konangan je, yen Romo.”

Tentu saja kami semua salah mengira, karena sosok beliau sangat muda dan sangat sederhana dalam arti yang sebenar-benarnya, baik dalam penampilan maupun dalam tutur sapa. Sehingga tidak seorangpun dari kami yang menyangka bahwa beliau adalah seorang imam. Sebagian dari kami yang saat itu duduk lesehanpun menyangka bahwa beliau adalah kakak kelas yang sedang bertugas mendampingi kami dalam acara perkenalan di awal tahun ajaran baru ketika itu.
Jangan salah menilai adalah gema dari bacaan pertama kita minggu ini. Gamaliel mengingatkan para pemuka agama yang tersinggung dengan pewartaan para rasul agar tidak salah menilai pengajaran mereka. (bdk Kis 5:38-39)

Jangan salah menilai adalah juga pesan yang tersirat pada bacaan Injil, ketika mereka bertemu dengan Yesus Kristus yang telah bangkit. Untungnya seorang murid kemudian berhasil mengenalinya, “Itu Tuhan.” (bdk Yoh 21:7)

Semua kisah itu akan menjadi lain sama sekali kalau ternyata terjadi salah penilaian. Mungkin murid-murid akan tewas pada saat mereka belum berhasil menyebarluaskan pewartaan tentang Yesus yang bangkit. Mungkin juga para rasul tetap menjadi nelayan bukannya rasul yang menggembalakan domba-domba iman, karena gagal mengenali Yesus.

Saya sendiri selalu takut untuk menilai karena, “Iya kalo benar. Lha kalau salah? Bagaimana?” Maka rangkaian kata-kata jangan salah menilai bagi saya berarti banyak, misalnya:
A. Jangan-jangan salah menilai.
B. Jangan. Jangan sampai salah menilai.
C. (simple saja) Jangan menilai.
Menurut anda sebaiknya pilih yang mana?

Atau biarlah Tuhan saja yang menilai, sebab Maha Bijaksanalah Tuhan.

TANDA-TANDA

11 April 2010,

Pekan Paskah II

Betapapun sepelenya suatu tanda, tetapi sekumpulan tanda dapat membantu seseorang membuat kesimpulan yang tepat. Dokter perlu tanda-tanda sebagai bagian dari proses diagnosa apakah seseorang terserang suatu penyakit. Petani juga perlu tanda-tanda sebelum mulai memanen. Thomas Didimus pun mensyaratkan adanya tanda-tanda khusus pada tubuh Yesus sebelum ia percaya bahwa setelah disalibkan Tuhan Yesus memang sungguh sudah bangkit.


Perlunya tanda-tanda itu juga dituntut oleh orang banyak yang mengikuti para murid. Beberapa di antara orang banyak itu malah seolah-olah menjadi memburu berkah (=ngalap berkah).Tidak pernah diceritakan apakah Tuhan terganggu dengan sikap orang banyak itu. Malah sebaliknya, tanda-tanda itu dibuat Yesus agar semakin banyak orang percaya. Dan Yesus adalah pribadi yang siap repot demi orang lain, terutama bagi mereka yang berharap dan percaya kepadaNya. Begitu banyak tanda-tanda yang dibuat Yesus. Sampai-sampai ditulis:“Karena memang masih banyak tanda lain yang dibuat Yesus di depan mata murid-murid-Nya, yang tidak tercatat dalam kitab ini, tetapi semua yang tercantum di sini telah dicatat, supaya kamu percaya, bahwa Yesuslah Mesias, Anak Allah, dan supaya kamu oleh imanmu memperoleh hidup dalam nama-Nya” (bdk Yoh 20:30-31).

Tetapi saya bersyukur bahwa anda sekalian kiranya tidak merasa perlu tanda tambahan apapun lagi untuk percaya bahwa Kristus telah bangkit.
Yesus memang tidak pernah berhenti dengan tanda semata-mata. Tanda itu hanyalah semacam petunjuk atau clue bahwa Yesus telah melakukan sesuatu. Melakukan suatu inilah yang harus digarisbawahi sebagai pernyataan iman. Rasul Paulus berkali-kali menuliskan hal ini sebagai bagian yang sangat penting, sebagai mutiara iman. Berbicara kepada kaum awam, kaum muda dan keluarga, Bapa Suci mengatakan “jangan takut untuk menghayati dan membawa kesaksian iman ke berbagai bidang masyarakat, dalam berbagai situasi dimana manusia berada”.

Dalam bahasa iklan, Talk Less Do More.
Jelas, bukan?