Rabu, 29 September 2010

DRAMA YANG (jangan) HILANG

Pekan Biasa XXIV
12 September 2010

Dengan teman sekolah dulu, kami pernah mendramatisasi ayat ini. Sebelum menyusun teks dramanya, saya harus bolak-balik membaca perikop ini. Dan sejak saat itu saya tahu bahwa yang sebenarnya hilang bukanlah si anak bungsu yang kurang ajar, nakal, bengal dan bejad. Bukan, karena bapa yang baik hati itu 2 kali bersorak: "Sebab anakku ini telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali." (Bdk Luk 15:24 & 32) Kalau bukan si bungsu, maka siapa yang hilang? Benar, si sulung. Si sulung yang marah karena ayahnya murah hati dan menerima kembali si bungsu itu, tidak mau masuk tenda dan ikut berpesta syukur. Bahkan hingga cerita itu usai, tidak dijelaskan bagaiamana kelanjutan sikap si sulung: tetap marah, tetap diluar tenda atau bagaimana.

Menyusun drama, berarti menyusun pelaku. Saya harus mencari siapa penggembiranya, siapa yang menjadi pegawai, khalayak ramai, pelacur bahkan hewan ternak (karena tidak mungkin menggiring babi, kambing apalagi lembu ke atas pentas bukan?). Lalu saya juga harus mencari 3 figur utama: si bungsu dan si sulung, dan tentu saja bapa yang baik hati itu. Yang pertama sih sangat gampang, yang kedua gampang, tapi yang ketiga ternyata sangat sulit. Sangat sulit mencari personifikasi bapa yang paling pas dalam perikop ini. Bahkan figur bapak saya juga tidak pas, karena beliau sangat tidak mungkin menghambur-hamburkan uang meskipun saya nangis darah memintanya. Saya kehilangan pemeran yang tepat.

Begitu sulit menetapkan pemeran bapa itu sampai saya agak putus asa. Supaya drama tetap bisa berjalan, maka dicari pemeran yang suka-tidak-suka agak pas. Tidak ada rotan akarpun jadi. Karena bapa yang seperti itu, menurut saya hanyalah Bapa di Surga. Bapa yang sangat murah hati kepada kami dan anda. Bapa yang pengampun. Karena sangat luarbiasa sifat-sifatnya maka kita akan selalu wajib menyelipkan kata maha. Bapa yang maha murah hati. Bapa yang maha pengampun. Dan Bapa yang seperti itu hanya satu: Bapa kami yang di Surga. Tapi berapa banyak bapak-bapak diantara kita sekarang? Apakah kita dapat menjadi bapa seperti bapa yang baik hati itu?

Maka saya mengajak anda untuk tidak menghilang. Janganlah hilang, sebagaimana si bungsu itu. Apapun dosa kita, selalu ada kesempatan untuk bertobat, meminta ampun dan maaf. Janganlah hilang, seperti si sulung itu. Namun bersukacitalah senantiasa dan bersyukurlah, sebab ada banyak sekali alasan untuk itu. Janganlah hilang, seperti si bapa, orang tua yang baik hati itu. Karena luaslah batin kita untuk mengasihi dan mengampuni, dan justru sesaklah hati kita untuk menyimpan dendam.

Janganlah hilang, sebab besarlah suka cita di surga.

Tidak ada komentar: