Senin, 28 Desember 2009

Sukacita Natal

Kebaktian Fajar Natal, 25 Desember 2009
Bacaan Ekaristi: Yesaya 62:11-12, Titus 3:4-7, Lukas 2:15-20


Malam Natal tahun ini saya pergi sendirian merayakan misa. Selain karena bertugas tata laksana, anak-anak kami juga masih terlalu kecil untuk diajak merayakan misa malam. Paginya saya mengantar anak-anak & ibunya ke Gereja. Tetapi di pagi itu, Gereja tampak agak lengang. Mungkin karena jam kebaktian memang terlalu pagi untuk sebagian besar jemaat yang telah mengikuti kebaktian malam Natal hingga larut malam. Sementara kami sudah bersiap sejak pagi, hanya si bungsu yang belum mandi. Ia langsung kami bawa masuk mobil karena masih tidur lelap. Natal kali ini memang terasa istimewa karena anak sulung saya tampak bersemangat sejak semalam sebelumnya.

Sambil menyimak kotbah pak Pendeta, saya merenungi pengalaman natal kali ini. Semua seolah nyaris sama. Sejak ibadat advent yang nyaris sama, hiasan di rumah kami yang sederhana, lagu-lagu yang itu-itu juga. Tetapi akhirnya saya menemukan juga adanya perbedaan. Yang berbeda adalah sukacitanya. Saya sekarang lebih bergembira, lebih mudah bersyukur, lebih nikmat bedoa. Ya, itulah yang membedakan suasana natal kami kali ini. Jangan tanya saya, mengapa bisa begitu. Asli, sejujur-jujurnya, bahwa saya tidak tahu mengapa saya bisa lebih bersukacita.

Apakah sukacita itu juga setara dengan sukacita para gembala yang datang menjenguk kanak-kanak Tuhan? (Bdk Lukas 2:15-20) Saya tidak tahu. Dan ketidaktahuan saya itu masih berlangsung hingga kini. Tetapi untungnya, sukacita natal yang damai sejahtera juga masih saya rasakan nikmatnya hingga kini. Mungkinkah ini semacam berkah? Bahwa Tuhan memberkati saya dengan sukacita, dan sukacita saya itu menulari anak-anak dan istri saya. Entahlah, mungkin pikiran saya terlalu dangkal dan naif untuk dapat mengerti segala sesuatu yang saya alami.

Jadi, apapun bagaimanapun mengapapun, saya bersyukur mengalaminya. Puji Tuhan, alleluya.

Selanjutnya saya berdoa agar Tuhan juga berkenan melimpahkan berkatnya secara khusus kepada anda, agar anda dengan mudah dapat memiliki sukacita natal yang damai sejahtera itu.

Rabu, 23 Desember 2009

Natal (Kedua)

Misa Ekaristi Fajar Natal, 25 Desember 2009
Bacaan Ekaristi: Yesaya 62:11-12, Titus 3:4-7, Lukas 2:15-20



Saya membayangkan. Ada antrian panjang untuk menghadap pengadilan Tuhan di saat kedatangan-Nya yang kedua. Maka saya tentu berada di barisan panjang itu. Mungkin ini bukan barisan terpanjang, karena masih ada barisan lain yang mengekor nyaris tak berujung. Itulah barisan yang pernah saya gambarkan sebagai 3 kelompok penyambutan Tuhan: kelompok yang siap, yang tidak siap dan yang siap-tidak-siap. Tentu saja (baca: sayangnya), saya masih di kelompok antrian terakhir. (Anda kira-kira di kelompok mana ya?)

Sambil pringas-pringis cemas, suara hati berseru-seru, “Rasain lu.” Sementara otak menanggapi dingin, “Ya wis.” karena memang sudah tidak ada pintu darurat atau tangga penyelamat apapun. Tapi telinga masih rajin menguping suara di sekitar saya. Suara itu pasti bukan obrolan, karena mulut sudah terkunci. Jadi, jangan-jangan suara batin yang menjerit-jerit hingga terdengar telinga saya. Berikut adalah petikan suara yang menarik.

“Semoga ada pengumuman, bahwa ini hanya gladi resik. Atau bahwa acara pengadilannya ditunda. Syukur-syukur sampai abad depan.”

“Bukankah Tuhan itu Maha Rahim, Maha Pengampun. Akankan semua orang, mereka yang sudah meninggal, kami yang masih hidup dan tentu saja including but not limited to diriku sendiri juga diampuni?”

“Memang hidupku tidak suci. Tetapi aku juga bukan penjahat tulen. Akankah pendosa kecil dan kambuhan sepertiku, bisa selamat ?

“Kalau di saat-saat terakhir-Nya di kayu salib, Tuhanku telah mengampuni dosa orang yang baru beberapa menit dijumpaiNya, akankan Ia juga mengampuni dalam perjumpaan kali ini.”

“Mengapa kiamat harus terjadi? Mengapa pengadilan terakhir harus ada? Mengapa?”

“Bagaimana dengan anak-anakku? Akankah mereka juga bisa selamat?”

“Bagaimana dengan istriku? Seorang pejuang yang pendiam. Wonder woman yang baik hati. Ibu yang selalu siap untuk anak-anaknya. Akankah ia juga selamat. Bisakah kami tetap bersama dan berjumpa lagi?”

Tiba-tiba saya mendengar alarm hape. Wuaduh, sudah waktunya bangun beneran. Berarti itu tadi suara batin saya sendiri. Yang nyata dalam mimpi. Yang tetap resah menantikan Natal yang kian mendekat.

Saya berdoa, agar tidak terus menerus resah, dan tentu juga agar anda tidak seresah saya.

SELAMAT MERAYAKAN NATAL.

Selasa, 22 Desember 2009

Pre Natal, Neo Natal

Pekan Adven IV, 20 Desember 2009
Bacaan Ekaristi: Mikha 5:2-5a, Ibrani 10:5-10, Lukas 1:39-45


Apakah anda mengenal istilah itu? Pre Natal adalah masa persiapan kelahiran. Ada kegembiraan dan kecemasan silih berganti. Kalau ada flek tentu cemas. Tetapi tidak ada flek juga tetap cemas. Gembira karena hari kelahiran semakin dekat. Gembira karena akan lahir anak sulung kami. Suasana inilah yang pada minggu ini kita peringati. Suasana menjelang kelahiran anak sulung Bunda Maria dan Bapa Yusuf. Dalam kondisi mengandung, Bunda Maria pergi mendaki pegunungan untuk mengunjungi rumah Zakaria dari Nazareth ke Yehuda. Luar biasa memang Bunda Tuhan itu, meskipun tidak dijelaskan dalam usia kandungan berapa bulan, akan tetapi kisah ini menunjukkan sukacita yang besar yang hendak dibagikan Sang Bunda kepada saudaranya. Suasana gembira itu langsung dirasakan oleh Ibu Elisabet dan bahkan janin dalam kandungannya. Bdk. Luk 1:39-45. Ayat yang ke 42 begitu terkenal, sehingga menjadi salah satu kalimat dalam doa Salam Maria.
42 ... lalu berseru dengan suara nyaring: "Diberkatilah engkau di antara semua perempuan dan diberkatilah buah rahimmu.

Suasana ini juga ada pada keluarga menjelang kelahiran anak-anak kami. Tetapi khusus pre-natal anak sulung kami, ada yang berbeda. Menjelang persiapan upacara syukur 7 bulanan, pre-natal itu menjadi neo-natal. Saya sendiri baru mengetahui istilah Neo Natal itu saat anak sulung saya lahir prematur pada usia 6,5 bulan. Bukan main. Dokter malah sempat memperkirakan beratnya hanya berkisar 700gr hingga 1500gr saja. Ternyata ia lahir dengan berat 1646gr panjang 41cm. Selama 7 hari ia dirawat di ruang NICU, neonatal intensive care unit. Pengalaman selanjutnya saya sharingkan. Begini.

7 hari pertama adalah saat yang penuh kecemasan di ruangan itu. Begitu mungilnya ia, sampai pampers impor tertipis untuk new born babies pun masih dikenakannya sebatas dada, persis seperti celana Obelix. Dokter spesialis anak yang merawat anak kami sekaligus spesialis prematur juga. Ia berpesan agar kami tidak menunjukkan rasa cemas, melainkan sebaliknya. Jadi dengan berpelukan kami saling menguatkan satu sama lain. Dan sambil bergandengan, kami menjenguk anak kami yang terbaring di dalam inkubator. Udara di dalam inkubator sungguh panas. Pastinya mendekati suhu tubuh ibunya, karena memang sengaja dikondisikan seperti dalam rahim. Lalu kami berbisik melalui lubang inkubator, sesekali bernyanyi, menyapa, mengajaknya tertawa, menyentuh jemarinya, menggelitiki. Ia belajar merespon kami. Senyum-senyum. Tangisannya begitu lemah hingga terdengar seperti merintih. Sementara alat monitor jantung, paru-paru sekali-kali menunjukkan kinerja yang tidak beraturan. Memang begitulah bayi prematur. Cairan di paru-parunya belum penuh dan otak belum berkembang sempurna. Suatu waktu computer mencatat bahwa bayi kami ini lupa bernafas. Ya benar, saking lelapnya ia tertidur, paru-parunya ikut lelap. Untung ada alat kedokteran yang canggih sehingga segera menyetrum telapak kakinya dan kejutan ini membuat ia terbangun dan kembali bernafas normal.

Setelah itu ia dipindahkan ke kamar perawatan intensif lainnya. Di ruang inilah kami berjumpa dengan ibu Indrawati, seorang ibu yang masuk rekor MURI karena melahirkah seorang anak dengan tubuh mungil setinggi 72cm. Suka tidak suka, inilah pengajaran Tuhan. Tuhan memberi contoh yang tegas dan jelas, bagaimana mengurus anak dengan segala keterbatasan. Kami bersyukur bahwa secara fisik kami memiliki kelebihan. Tetapi kami juga bertobat, karena semangat kami agak rapuh. Maka terbitlah niat saya untuk belajar merawat kakak. Saya belajar menceboki, mengganti pakaian, menggendong dan menyusuinya. Ya, benar saya, karena ibunya masih takut menyaksikan tubuh kakak yang begitu mungil dan rapuh. Semangat Bu Indrawati membakar kami. Istri saya juga semakin rajin memeras asi dan menyimpannya dalam botol-botol kecil di kulkas. Asi memang harus diperas. Bayi prematur memang belum bisa menelan. Hampir 2 minggu kakak mengkonsumsi asi melalui sonde langsung ke lambung. Lalu beberapa hari belajar menyedot dan menelan asi dengan dot. Kemudian baru belajar menetek langsung dari ibunya.

Sampai minggu ketiga, kami belum memberinya nama. Kami masih memanggilnya 'kakak'. Hingga suatu waktu kami seperti disadarkan bahwa anak kami telah melalui masa-masa pertama kehidupannya dengan luar biasa. Ada keajaiban berkali-kali. Dan ...tuinggg...nguing...nguing sadarlah kami bahwa pastilah ini karena kuasa kasih Tuhan. Maka kami beri ia nama Samuel, berarti Tangan Tuhan.

Selama proses belajar ini, berat badannya naik turun. Kadang naik 15gr. Lalu belajar ngedot, hingga turun 10gr. Ketika suhu inkubator diturunkan, berat badanya ikut turun juga. Saya sering tidak sabar. Kalau bisa seperti membeli emas, saya bayar saja deh supaya langsung naik 500gr. Tetapi tentu tidak demikian. Proses tumbuh kembang berjalan berangsur-angsur, bisa terasa lambat namun sebenarnya cukup cepat berlalu. Naik dan turun adalah hal yang sangat biasa. Seperti juga proses pendewasaan iman. Suatu proses tumbuh kembang yang bagi saya seperti tiada berakhir. Kakak melalui proses itu selama 35 hari. 29 hari diantaranya dilaluinya di dalam inkubator. Sebelum kami bawa pulang, ia terlebih dahulu diperiksa oleh tim dokter. Semuanya dokter spesialis anak, tetapi masing-masing mengambil spesialis lagi. Ada spesialis mata, spesialis gastro, spesialis penyakit dalam, spesialis otak (ia memeriksa kepala anak saya dengan usg berwarna). Pokoknya macam-macam. Jangan tanya tagihannya. Saya tetap bersyukur bahwa Tuhan telah mengatur segala sesuatunya. Kami sebagai orang tua, hanya menjadi alat bagi kasih Tuhan. Kakak adalah salah satu anugerah, yang dipercayakan oleh Tuhan kepada kami. Untuk dikasihi dan dirawat.

Sekarang kakak telah berusia 4,5 tahun. Ia tumbuh dan berkembang sebagai anak lelaki yang menyenangkan. Tentu tidak saja karena ia sendiri berjuang dan berusaha tetap bertahan hidup sejak usia belia, tetapi juga karena upaya tak kenal lelah dari ibunya, istri saya, yang dengan tekun merawatnya. Diatas itu semua, tentu karena kuasa kasih Tuhan yang telah bekerja dengan cara-cara luar biasa.

Itu kisah drama keluarga kami. Kurang lebih 2000 tahun setelah Yesus lahir! Bagaimana dengan suasana menjelang Yesus lahir? Mari kita simak lagi Lukas 1:39-45 dan juga Mikha 5:2-5a, Ibrani 10:5-10. Selamat (membuka-buka dan) membaca Kitab Suci.

Senin, 07 Desember 2009

Planning

Pekan Adven III, 13 Desember 2009
Bacaan Ekaristi: Yes 12:2-6, Flp 4:4-7, Luk 3:10-18


Lebih 2 windu saya bekerja sebagai tenaga pemasaran. Setiap akhir tahun seperti ini, kami tentu sudah mempersiapkan rencana pemasaran tahun mendatang. Tidak hanya pada perencanaan strategis, melainkan juga pada perencanaan sematang-matangnya untuk menyusun langkah-langkah pencapaian. Perencanaan ini menyita pikiran. Kadang disertai begitu banyak lampiran data prospektus dan statistik. Belum lagi memperhitungkan adanya penyimpangan, entah domestik maupun global. Pendek kata, ruwet. Itulah perencanaan tahunan yang istilah kerennya annual strategic & action plan marketing plan. Tahunan? Sebenarnya tidak juga, karena harus disertainya adanya long term plan alias perencanaan jangka panjang dan dievaluasi setiap triwulan. Pokoknya ajib.

Tapi bagaimanapun itu pasti sangat tidak sebanding dengan canggihnya rencana penyelamatan Tuhan selama ribuan tahun. Bayangkan bahwa sejak dosa manusia pertama, riwayat penyelamatan itu sudah terjadi. Campur tangan Tuhan sudah tampak dalam sejarah keluarga umat manusia pertama. Tidak hanya sekali. Bahkan berkali-kali. Tak terhitung. Yang legendaris adalah kisah penyelamatan keluarga Yakub dari bahaya kelaparan. Lalu keluarnya mereka dari Mesir dibawah kepemimpinan Musa. Kemudian penyelamatan Israel dari pembuangan dijaman Nebukadnezar. Kitab Yesaya adalah salah satu buktinya (bdk Yes 12:2-3, 4, 5-6). Dan peran serta Yohanes Pembabtis adalah bukti lainnya lagi (bdk Luk 3:10-18). Kemudian lahirlah Yesus sang Mesias. Sudah berapa tahun itu? Wah, saya sendiri tidak hafal sejarahnya. Tapi kelihatannya benar, ribuan tahun. Suatu karya-jangka-panjaaaaang-sekali.

Itu belum selesai. 20 abad kemudian Allah tetap menyelamatkan. Allah menggerakkan para pekerja seni musik untuk bernyanyi menggalang dana bagi Afrika yang dilanda kelaparan dekade lalu. Allah juga menggerakkan dunia untuk membantu Aceh setelah diterjang tsunami di millenium ini. Allah yang maha luar biasa. Allah yang mencintai manusia. Dan saya, juga anda, tak luput dari kuasa kasih Allah itu.

Dalam setiap karyaNya, Allah melibatkan manusia juga. Ada Yusuf yang menjadi semacam kepala bulog di Mesir. Ada Musa & Harun. Ada Yesaya, Yeremia dan nabi-nabi lain, termasuk nabi Elia dan Yohanes Pembabtis. Itu di jaman sebelum Masehi. Di jaman kita pun kita kenal banyak sekali pejuang kemanusiaan. Anda pun mungkin adalah salah satu dari para pejuang itu. Tetapi yang paling istimewa dalam sejarah manusia tentunya adalah Yesus Kristus.

Dalam iman kita mengakui bahwa Yesus tetap berkarya untuk keselamatan kita. Tak jarang doa kepada Yesus dikabulkan. Meskipun sering berdoa, saya bukan ahli doa. Jadi saya sungguh tetap tidak tahu bagaimana kriteria doa yang baik, mengapa doa ini dikabulkan sedangkan lainnya tidak. Saya hanya berdoa biasa saja. Tetapi kok ya nyatanya doa saya ada yang terkabul. Anda tentu juga merasakan karunia luar biasa ketika doa anda dikabulkan. Kebetulankah? Kalau toh betul demikian, saya dan anda tentu sungguh beruntung dan sepatutnya bersyukur.

Tetapi beruntung atau tidak beruntung tidaklah penting. Yang penting adalah karya penyelamatan ilahi itu sudah-masih-dan akan tetap berlangsung. Dulu, kini dan kelak. Akur? Kalau setuju, kita perlu bersyukur. (Lagi?) Ya, lagi.

Sekarang, mari kita simak Filipi 4:4-7
4 Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah!
5 Hendaklah kebaikan hatimu diketahui semua orang. Tuhan sudah dekat!
6 Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur.
7 Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus.

(Sekarang bersyukur lagi?) Ya, lagi, sambil bersukacita!