“Ngèlmu iku
kêlakóné kanthi laku, sênajan akèh ngèlmuné lamún ora
ditangkaraké lan ora digunakaké, ngèlmu iku tanpå
gunå” artinya: Ilmu itu diperoleh dengan usaha yang giat.
Walaupun banyak ilmu, tetapi jika tidak disebarluaskan dan tidak
dimanfaatkan, ilmu tersebut tidak akan berguna apa-apa.
“Non scholae sed vitae discimus”, maksudnya: belajar itu bukan
untuk mengejar ijazah sekolah, tetapi agar orang dapat hidup dengan baik dan
benar. Ucapan Seneca (4SM–65M) ternyata masih relevan bila diterapkan pada abad
XXI. Zaman sekarang orang berlomba-lomba mendapatkan gelar sebagai
syarat sebagai pegawai. Maka tidak mengherankan jika ada sarjana pertanian
bekerja pada jasa perbankan. Teorinya, dalam belajar sebenarnya ada semacam link
and match (keterpautan dan keterpaduan) antara dunia sekolah dengan dunia
kehidupan. Untungnya meskipun banyak yang awalnya agak tidak nyambung tetapi
toh sukses juga kerjanya.
Seorang profesor emeritus pernah
berkata, “Saya tidak ingin menjadi profesor ‘pohon pisang’ yang sekali
berbuah dan dimakan orang. Tetapi saya ingin menjadi profesor ‘pohon ara’
yang bertumbuh dan berguna sampai berabad-abad.” Bagi profesor ini, gelar
bukan sebagai puncak karier, melainkan sebagai makna kehidupan. Pendidikan
memang hendaknya sepanjang hayat : from cradle to the grave.
Non scholae sed vitae discimus memberikan sebuah pembelajaran bagi
kita bahwa yang namanya belajar itu memang untuk kehidupan. Untuk itulah, dalam
menghidupi ilmu pengetahuan, dibutuhkan sebuah proses yang kadang kala harus
berdarah-darah, bercucuran keringat dan membanting tulang dan bukan mentalitas instant.
Belajar
bisa apa saja. Belajar hidup. Belajar berdoa. Belajar beriman. Belajar suci.
Mengingat belajar itu kegiatan sepanjang hayat dikandung badan, jadi ya sampai
mati belum pinter-pinter doanya, imannya, sucinya ya tidak apa-apa. Tidak usah
merasa gimana-gimana.
Santai
saja, yang penting teruuuusssss belajar. Sampai jiwa merdeka dari tubuh. Sampai
mati.