Selasa, 28 Agustus 2012

BELAJAR SAMPAI KAPAN ?

Ngèlmu iku kêlakóné kanthi laku, sênajan akèh ngèlmuné lamún ora ditangkaraké lan ora digunakaké, ngèlmu iku tanpå gunå” artinya: Ilmu itu diperoleh dengan usaha yang giat. Walaupun  banyak ilmu, tetapi jika tidak disebarluaskan dan tidak dimanfaatkan, ilmu tersebut tidak akan berguna apa-apa.
Non scholae sed vitae discimus”, maksudnya: belajar itu bukan untuk mengejar ijazah sekolah, tetapi agar orang dapat hidup dengan baik dan benar. Ucapan Seneca (4SM–65M) ternyata masih relevan bila diterapkan pada abad  XXI.  Zaman sekarang orang berlomba-lomba mendapatkan gelar sebagai syarat sebagai pegawai.  Maka tidak mengherankan jika ada sarjana pertanian bekerja pada jasa perbankan. Teorinya, dalam belajar sebenarnya ada semacam link and match (keterpautan dan keterpaduan) antara dunia sekolah dengan dunia kehidupan. Untungnya meskipun banyak yang awalnya agak tidak nyambung tetapi toh sukses juga kerjanya.
Seorang profesor emeritus pernah berkata, “Saya tidak ingin menjadi profesor ‘pohon pisang’  yang sekali berbuah dan dimakan orang. Tetapi saya ingin menjadi profesor  ‘pohon ara’  yang bertumbuh dan berguna sampai berabad-abad.” Bagi profesor ini, gelar bukan sebagai puncak karier, melainkan sebagai makna kehidupan. Pendidikan memang hendaknya sepanjang hayat : from cradle  to the grave.
Non scholae sed vitae discimus memberikan sebuah pembelajaran bagi kita bahwa yang namanya belajar itu memang untuk kehidupan. Untuk itulah, dalam menghidupi ilmu pengetahuan, dibutuhkan sebuah proses yang kadang kala harus berdarah-darah, bercucuran keringat dan membanting tulang dan bukan mentalitas instant.
Belajar bisa apa saja. Belajar hidup. Belajar berdoa. Belajar beriman. Belajar suci. Mengingat belajar itu kegiatan sepanjang hayat dikandung badan, jadi ya sampai mati belum pinter-pinter doanya, imannya, sucinya ya tidak apa-apa. Tidak usah merasa gimana-gimana.
Santai saja, yang penting teruuuusssss belajar. Sampai jiwa merdeka dari tubuh. Sampai mati.

Tidak ada komentar: