Sejak
sekolah dasar, kita sudah hafal bahwa manusia adalah mahluk sosial. Siapapun
pastinya membutuhkan orang lain untuk bertahan hidup. Keberadaannya sangat
bergantung pada orang lain. Orangtua. Saudara. Tetangga. Teman. Ya, siapapun.
Bahkan lawan alias musuh. Betul! Coba lihat atlet. Atlet apapun. Mereka butuh
lawan tanding, bukan?
Setiap
orang baru menjadi “seseorang” bila berada ditengah lingkungan sosialnya. Mari
kita ambil peran pemimpin. Masihkan ia menjadi pemimpin bila ia hanya seorang
diri? Ya ya ya, kita bisa saja beralasan bahwa pemimpin sejati adalah pemimpin
yang berhasil pertama-tama bagi dirinya sendiri. Oke, baiklah. Tapi cukupkan
demikian? Tidak, bukan. Ia bukan siapa-siapa bila hanya seorang diri. Pemimpin dinobatkan
menjadi pemimpin bila ia berada di kawanannya. Di tengah lingkungan sosialnya.
Tapi siapakah lingkungan sosialnya?
Mari
kita sekarang bicara sinar alias cahaya. Contohnya, lampu bohlam di ruang
keluarga. Apakah cahaya itu lebih menerangi jalanan daripada ruangan itu
sendiri? Demikian juga alangkah anehnya bila seseorang lebih menjadi seseorang
bagi lingkungan luar-keluarga daripada keluarganya. Lingkungan sosial yang
paling inti tentulah keluarga inti : bapak ibu anak. Gereja mengajarkan bahwa
kita harus saling memberikan sakramen di tengah keluarga. Artinya kita harus
saling memberi berkat, saling bertukar kasih Tuhan di tengah keluarga,
bergantian menghadirkan keselamatan.
Susah
dimengerti ya? Hehe…paling gampang ya mungkin begini. Yang jadi bapak atau
suami ya harus menjadi bapak dan suami yang istimewa. Tidak hanya baik, tetapi
baik sekali bagi istri dan anaknya. Yang jadi ibu atau istri juga harus menjadi
ibu dan istri yang sangat baik, bagi suami dan anaknya. Lha, anak juga mesti menjadi anak yang buaik juga di hadapan bapak-ibunya. Kalau ia punya saudara kandung,
ya berlanjut…menjadi saudara yang istimewa bagi kakak atau adiknya. Menjadi
agak tidak biasa bila faktanya ia menjalankan peran yang buruk di tengah
keluarga tapi….eeeelhadalah….bisa hebat
menjadi aktivis sosial.
Kali
ini mungkin baik kalau kita berpikir bertindak dan bertingkahlaku yang
biasa-biasa saja. Bukannya mau mengatakan bahwa menjadi istimewa dan
outstanding itu tidak bagus. Tidak begitu. Hanya hendak mengingatkan saja.
Bahwa menjadi biasa-biasa saja itu ternyata istimewa di saat-saat ini. Ketika
banyak orang melalaikan keluarga, terlalu sibuk dengan urusan diluar rumah,
maka menjadi orang rumahan (dalam bahasa jawa disebut “pomah”) tentunya adalah
kemewahan.
Maka,
marilah menjadi orang rumahan, yang lebih memiliki lebih banyak waktu untuk
bersama-sama dengan keluarga. Sama-sama menjadi seseorang yang istimewa satu
sama lain ditengah keluarga. Semoga dengan demikian, masing-masing menjadi
berkat bagi setiap anggota keluarga. Kalau urusan keluarga sudah jempolan, baru
urusan lainnya.
Tidak
setuju? Ya, sudah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar