Kamis, 15 April 2010

RAHMAT atau HUJAT

Pekan Paskah IV

25 April 2010,

Hari Minggu Paskah ke-4

Seperti koin dan pedang yang selalu ada dua sisi, demikianlah berita. Selalu ada (setidak-tidaknya) dua sisi, yang disederhanakan menjadi kabar baik dan kabar buruk. Nyaris semua peristiwa bisa dikabarkan. Melalui pengkabaran itulah suatu berita menjadi baik atau buruk. Contoh, kabar lulus sekolah. Kabar baiknya bahwa siswa berhasil melampaui suatu jenjang pendidikan dan berhak melanjutkan ke jenjang berikutnya. Kabar (yang mungkin) buruknya bahwa siswa harus siap stress untuk bersaing dan berprestasi di tingkat yang pasti lebih sulit dan tentu lebih rumit.


Saya tidak akan membahas hal baik dan buruk yang sangat subjektif dan karena itu menjadi terlalu relatif. Yang penting untuk saya adalah tanggapan setiap orang pada suatu kabar berita yang sama ternyata bisa sangat berbeda. Mungkin dipengaruhi oleh latar belakang budaya dan keyakinan, seperti tanggapan warga non Yahudi (yang kala itu dianggap sebagai bangsa yang tidak mengenal Allah, warga kafir!) di Anthiokia, yang tidak hanya menyambut baik tetapi bahkan menyimak pengajaran para murid. Lain umat non Yahudi, lain pula umat Yahudi. Umat Yahudi malahan memberi tanggapan yang sangat berbeda kepada para murid (bdk Kis 13:45, 50). Luar biasa bukan, bahwa atas kabar berita yang sama bisa mendatangkan rahmat bagi sebagian orang, namun juga memancing hujat dari sebagian orang yang lain.

Namun saya juga tidak membahas lebih dalam bagaimana tanggapan itu seharusnya. Lebih penting bagi saya untuk fokus pada sikap. Bagaimana saya harus menata sikap dalam menghadapi rupa-rupa tanggapan itu.


Teladan sikap dari para murid itu benar-benar jelas dan lugas. Sikap mereka bukan main cuek-nya. Jangankan takut dihujat, mereka malah semakin bersemangat. Bukannya bergeming, malah merangsak terus. Seolah semakin mereka didera, semakin mereka menderu. Hanya saja ketika mereka merasa ditolak, mereka mengebaskan debu kemudian berlalu. (bdk Kis 13:51) Mereka pindah ke tempat lain dan melakukan pekerjaan yang sama dan dengan semangat yang persis sama pula (bdk Kis 5:41).Jadi hikmat bacaan pekan ini bagi saya adalah bahwa saya diajak ikut dalam barisan khafilah yang tetap berlalu itu.

Pada malam tahun baru lalu saya mendapatkan sms, begini: Life is a book. Everyday has a new page with adventures to tell, things to learn, pains to heal and tales to remember. May U have wonderful chapters in 2010.Kalau begitu, hidup kita juga bisa menjadi semacam buku. Yang setiap harinya merupakan halaman-halaman baru yang berisikan petualangan untuk diceritakan, hal untuk dipelajari, luka untuk disembuhkan dan kisah untuk diingat.


Menikmati Kisah Para Rasul sebagai bacaaan, semakin tegas tergambar bagaimana misteri Paskah Tuhan Yesus Kristus telah menyemangati setiap murid untuk mewartakan. Dan bagaimana mereka masing-masing mewartakan kabar gembira itu, apapun resikonya, bagaimanapun sulit. Tidak hanya dengan rangkaian kata-kata, melainkan juga dengan seluruh hidupnya, kabar gembira Tuhan itu dinyatakan dengan jelas.


Bila kita adalah murid kesekian dari murid-murid kesekian dari para murid Yesus Kristus itu maka kita juga diajak untuk mewartakan injil dengan seluruh hidup kita, bukan hanya kata-kata melainkan pikiran dan perbuatan juga. Hasil akhirnya adalah bahwa hidup kita (saya dan anda sekalian) menjadi rahmat dan berkat bagi sesama. Sama sekali bukan kita yang menilai kualitas hidup kita, tetapi orang lain (bisa anak, keluarga, kerabat, sahabat, bahkan musuh).


Tetapi apapun itu, semoga kita dikuatkan untuk hidup seturut injil. Bila sudah demikian, maka di akhir hayat datanglah pengakuan, “Inilah dia, yang hidupnya seturut injil Tuhan kita Yesus Kristus.”


“Terpujilah Tuhan.”

JANGAN-JANGAN KELIRU

Pekan Paskah III
18 April 2010,

Hari Minggu Paskah ke-3

Ketika sekolah, kami mendapat seorang pastor pendamping baru. Menurut kabar berita, beliau adalah seorang imam muda yang cerdas namun sederhana. Tetapi tak seorangpun di antara kami yang mengenal beliau sebelumnya. Hingga tibalah masa perkenalan dengan beliau. Seperti biasa setelah berkumpul di aula, kami semua bersenda gurau sambil lesehan. Sebagian ada yang bernyanyi-nyanyi sambil bermain musik: gitar, flute dan gendang. Lagunya macam-macam. Pokoknya serba hingar bingar. Tapi sang pastor tak kunjung memperkenalkan diri, sementara kami semakin larut dalam keramaian. Sampai suatu saat ada yang mulai iseng, melempar sandal. Ya, kami biasa memakai sandal. Bahkan sekolahpun kadang-kadang hanya bersandal. Dan diantara sandal-sandal itu tentu saja ada sandal jepit, sandal ban karet dan bakiak alias klompen atau sandal kayu dengan pengait dari karet bekas ban. Dan segeralah terjadi perang sandal. Sandal-sandal itu hilir mudik beterbangan, siap menyambar badan dan kepala siapa saja. Ya, siapa saja.

Lalu tiba-tiba, berdirilah seorang pemuda sambil tertawa-tawa mengangkat bakiak yang baru saja mengenai tengkuknya. “Hayo ini punya siapa?”

Alih-alih menjawab, seluruh aula langsung senyap. Wussss... Sunyi sekali beberapa saat. Kemudian ada suara menjawab lirih, “Punya saya, Romo.”
“Ya, silahkan ambil.”
Teman itu beringsut maju dan dengan tetap membungkuk menerima bakiak itu.
“Lho, jangan takut. Saya ndak marah toh. Lihat wajah saya.” Romo tersenyum lebar, berusaha meyakinkan.
Perlahan terdengar cekikikan. Kemudian merambat menjadi tawa. Lantas seluruh aula bergema dengan tawa suka ria.
Itulah perkenalan kami dengan Romo pembimbing kami.
“Ora konangan je, yen Romo.”

Tentu saja kami semua salah mengira, karena sosok beliau sangat muda dan sangat sederhana dalam arti yang sebenar-benarnya, baik dalam penampilan maupun dalam tutur sapa. Sehingga tidak seorangpun dari kami yang menyangka bahwa beliau adalah seorang imam. Sebagian dari kami yang saat itu duduk lesehanpun menyangka bahwa beliau adalah kakak kelas yang sedang bertugas mendampingi kami dalam acara perkenalan di awal tahun ajaran baru ketika itu.
Jangan salah menilai adalah gema dari bacaan pertama kita minggu ini. Gamaliel mengingatkan para pemuka agama yang tersinggung dengan pewartaan para rasul agar tidak salah menilai pengajaran mereka. (bdk Kis 5:38-39)

Jangan salah menilai adalah juga pesan yang tersirat pada bacaan Injil, ketika mereka bertemu dengan Yesus Kristus yang telah bangkit. Untungnya seorang murid kemudian berhasil mengenalinya, “Itu Tuhan.” (bdk Yoh 21:7)

Semua kisah itu akan menjadi lain sama sekali kalau ternyata terjadi salah penilaian. Mungkin murid-murid akan tewas pada saat mereka belum berhasil menyebarluaskan pewartaan tentang Yesus yang bangkit. Mungkin juga para rasul tetap menjadi nelayan bukannya rasul yang menggembalakan domba-domba iman, karena gagal mengenali Yesus.

Saya sendiri selalu takut untuk menilai karena, “Iya kalo benar. Lha kalau salah? Bagaimana?” Maka rangkaian kata-kata jangan salah menilai bagi saya berarti banyak, misalnya:
A. Jangan-jangan salah menilai.
B. Jangan. Jangan sampai salah menilai.
C. (simple saja) Jangan menilai.
Menurut anda sebaiknya pilih yang mana?

Atau biarlah Tuhan saja yang menilai, sebab Maha Bijaksanalah Tuhan.

TANDA-TANDA

11 April 2010,

Pekan Paskah II

Betapapun sepelenya suatu tanda, tetapi sekumpulan tanda dapat membantu seseorang membuat kesimpulan yang tepat. Dokter perlu tanda-tanda sebagai bagian dari proses diagnosa apakah seseorang terserang suatu penyakit. Petani juga perlu tanda-tanda sebelum mulai memanen. Thomas Didimus pun mensyaratkan adanya tanda-tanda khusus pada tubuh Yesus sebelum ia percaya bahwa setelah disalibkan Tuhan Yesus memang sungguh sudah bangkit.


Perlunya tanda-tanda itu juga dituntut oleh orang banyak yang mengikuti para murid. Beberapa di antara orang banyak itu malah seolah-olah menjadi memburu berkah (=ngalap berkah).Tidak pernah diceritakan apakah Tuhan terganggu dengan sikap orang banyak itu. Malah sebaliknya, tanda-tanda itu dibuat Yesus agar semakin banyak orang percaya. Dan Yesus adalah pribadi yang siap repot demi orang lain, terutama bagi mereka yang berharap dan percaya kepadaNya. Begitu banyak tanda-tanda yang dibuat Yesus. Sampai-sampai ditulis:“Karena memang masih banyak tanda lain yang dibuat Yesus di depan mata murid-murid-Nya, yang tidak tercatat dalam kitab ini, tetapi semua yang tercantum di sini telah dicatat, supaya kamu percaya, bahwa Yesuslah Mesias, Anak Allah, dan supaya kamu oleh imanmu memperoleh hidup dalam nama-Nya” (bdk Yoh 20:30-31).

Tetapi saya bersyukur bahwa anda sekalian kiranya tidak merasa perlu tanda tambahan apapun lagi untuk percaya bahwa Kristus telah bangkit.
Yesus memang tidak pernah berhenti dengan tanda semata-mata. Tanda itu hanyalah semacam petunjuk atau clue bahwa Yesus telah melakukan sesuatu. Melakukan suatu inilah yang harus digarisbawahi sebagai pernyataan iman. Rasul Paulus berkali-kali menuliskan hal ini sebagai bagian yang sangat penting, sebagai mutiara iman. Berbicara kepada kaum awam, kaum muda dan keluarga, Bapa Suci mengatakan “jangan takut untuk menghayati dan membawa kesaksian iman ke berbagai bidang masyarakat, dalam berbagai situasi dimana manusia berada”.

Dalam bahasa iklan, Talk Less Do More.
Jelas, bukan?