Kamis, 15 April 2010

JANGAN-JANGAN KELIRU

Pekan Paskah III
18 April 2010,

Hari Minggu Paskah ke-3

Ketika sekolah, kami mendapat seorang pastor pendamping baru. Menurut kabar berita, beliau adalah seorang imam muda yang cerdas namun sederhana. Tetapi tak seorangpun di antara kami yang mengenal beliau sebelumnya. Hingga tibalah masa perkenalan dengan beliau. Seperti biasa setelah berkumpul di aula, kami semua bersenda gurau sambil lesehan. Sebagian ada yang bernyanyi-nyanyi sambil bermain musik: gitar, flute dan gendang. Lagunya macam-macam. Pokoknya serba hingar bingar. Tapi sang pastor tak kunjung memperkenalkan diri, sementara kami semakin larut dalam keramaian. Sampai suatu saat ada yang mulai iseng, melempar sandal. Ya, kami biasa memakai sandal. Bahkan sekolahpun kadang-kadang hanya bersandal. Dan diantara sandal-sandal itu tentu saja ada sandal jepit, sandal ban karet dan bakiak alias klompen atau sandal kayu dengan pengait dari karet bekas ban. Dan segeralah terjadi perang sandal. Sandal-sandal itu hilir mudik beterbangan, siap menyambar badan dan kepala siapa saja. Ya, siapa saja.

Lalu tiba-tiba, berdirilah seorang pemuda sambil tertawa-tawa mengangkat bakiak yang baru saja mengenai tengkuknya. “Hayo ini punya siapa?”

Alih-alih menjawab, seluruh aula langsung senyap. Wussss... Sunyi sekali beberapa saat. Kemudian ada suara menjawab lirih, “Punya saya, Romo.”
“Ya, silahkan ambil.”
Teman itu beringsut maju dan dengan tetap membungkuk menerima bakiak itu.
“Lho, jangan takut. Saya ndak marah toh. Lihat wajah saya.” Romo tersenyum lebar, berusaha meyakinkan.
Perlahan terdengar cekikikan. Kemudian merambat menjadi tawa. Lantas seluruh aula bergema dengan tawa suka ria.
Itulah perkenalan kami dengan Romo pembimbing kami.
“Ora konangan je, yen Romo.”

Tentu saja kami semua salah mengira, karena sosok beliau sangat muda dan sangat sederhana dalam arti yang sebenar-benarnya, baik dalam penampilan maupun dalam tutur sapa. Sehingga tidak seorangpun dari kami yang menyangka bahwa beliau adalah seorang imam. Sebagian dari kami yang saat itu duduk lesehanpun menyangka bahwa beliau adalah kakak kelas yang sedang bertugas mendampingi kami dalam acara perkenalan di awal tahun ajaran baru ketika itu.
Jangan salah menilai adalah gema dari bacaan pertama kita minggu ini. Gamaliel mengingatkan para pemuka agama yang tersinggung dengan pewartaan para rasul agar tidak salah menilai pengajaran mereka. (bdk Kis 5:38-39)

Jangan salah menilai adalah juga pesan yang tersirat pada bacaan Injil, ketika mereka bertemu dengan Yesus Kristus yang telah bangkit. Untungnya seorang murid kemudian berhasil mengenalinya, “Itu Tuhan.” (bdk Yoh 21:7)

Semua kisah itu akan menjadi lain sama sekali kalau ternyata terjadi salah penilaian. Mungkin murid-murid akan tewas pada saat mereka belum berhasil menyebarluaskan pewartaan tentang Yesus yang bangkit. Mungkin juga para rasul tetap menjadi nelayan bukannya rasul yang menggembalakan domba-domba iman, karena gagal mengenali Yesus.

Saya sendiri selalu takut untuk menilai karena, “Iya kalo benar. Lha kalau salah? Bagaimana?” Maka rangkaian kata-kata jangan salah menilai bagi saya berarti banyak, misalnya:
A. Jangan-jangan salah menilai.
B. Jangan. Jangan sampai salah menilai.
C. (simple saja) Jangan menilai.
Menurut anda sebaiknya pilih yang mana?

Atau biarlah Tuhan saja yang menilai, sebab Maha Bijaksanalah Tuhan.

Tidak ada komentar: