Masih menyoal hal yang sama: TPE.
Ide dasarnya sederhana sekali.
Bahwa beriman dan berdoa itu perlu tanggung jawab. Bahwa kalaulah semua yang fana di dunia ini bisa kekal, maka yang kekal itu adalah perubahan. Dalam pengertian inilah bertobat berarti berubah. Beriman juga berubah. Semakin beriman semakin berubah. Berdoa juga, apalagi TPE.
Apakah TPE sekarang lebih katolik? Apakah TPE jaman perang kemerdekaan RI kurang katolik? Apakah TPE yang disusun semirip mungkin dengan liturgi misa abad pertengahan dulu itu sudah tradisional? Apakah TPE sekarang ini lebih asli dibanding liturgi yang digelar diam-diam di katakombe dua ribu tahun lalu?
Saya lalu menulis demikian:
Saya merenungkan, benar atau salahkah bila saya menghayati iman katolik saya dengan cara saya.
Bicara mengenai tradisi TPE, manakah yang benar? TPE sekarang? (Berarti TPE sebelumnya ndak benar? atau sekurang-kurangnya kurang benar, dong?) Apakah TPE sekarang lebih benar dan lebih katolik? Kata siapa? Sewaktu pra-Konsili Vatikan II, TPE sekarang ini dianggap tabu. Apa yang kita lakukan sekarang dengan TPE dianggap perubahan radikal (istilah lainnya mungkin: jauh lebih norak). Sayang, saya lahir pasca Konsili Vatikan. Dan nyatanya setelah beberapa dekade berlalu, Gereja sekarang dianggap dalam banyak hal jauh lebih kreatif. Termasuk soal TPE. Benar tidak? Kalau benar demikian, mengapa tidak dari dulu saja diterapkan TPE seperti ini. Coba...seandainya sejak jaman kumpeni dulu pastor-pastor londo itu menggelar misa dalam bahasa betawi, atau jawi kuno, atau papua. Coba...seandainya KS sejak jaman penemuan mesin cetak sudah boleh diterjemahkan dalam bahasa lokal, termasuk bahasa sunda. Apa jadinya? Apa Gereja Katolik akan lebih jelek atau lebih bagus?
Tapi inilah gaya katolik, kalau saja bertolak belakang dengan arus yang namanya ketentuan Roma (yang diantara perumusnya pernah jadi teman se-dormit kita juga) maka dianggap bikin gereja tandingan lah, aliran katolik baru lah. Perlu kearifan yang sederhana bahwa Gereja Katolik adalah gereja yang bertumbuh dalam penghayatan imannya. Kalau belajar sejarah, maka baru bisa tahu bahwa gereja kita adalah gereja yang lucunya menggemaskan dan sekaligus menjengkelkan.
Pernah tahu 'kan bahwa Galileo Galilei dihukum Gereja kita gara-gara bilang bahwa bumi mengelilingi matahari ? Juga tahu dong bahwa dulu Kitab Suci dulu tidak boleh diterjemahkan ? Bagaimana dengan ulah Gereja yang menjadi tuan tanah ? Sucikah perang salib ? Bersalahkan Martin Luther? Berdosakah Yohanes Calvin? Tepatkah pembantaian kaum hugenot di Perancis?
Kalau begitu, maka benarlah: Gereja kita dulu memang begitu. Sekarang sudah tidak.
Dan begitu juga benarlah: TPE dulu juga begitu. Sekarang sudah tidak.
Artinya, benarlah bahwa memang ada perubahan pada Gereja Katolik.
Dan perubahan itu butuh proses, perlu waktu.
Nah inilah kuncinya, ada beberapa yang berpikiran terlalu maju dari jamannya.
Mereka ini sebenarnya visioner di satu sisi namun pembelot di sisi lain.
Persoalan berikutnya adalah berada disisi mana anda menanggapi persoalannya.
Hehehe...sederhana bukan?
Pertanggungjawaban iman saya sih sederhana saja. Saya mengucapkan Credo dengan sepenuh hati. Saya berdoa Bapa Kami. Dan bagi saya, Yesus adalah Kristus yang pernah hidup sengsara bangkit dan kini jaya. Dan bahwa Yesus adalah Kristus yang membebaskan. Hukum Kanonik adalah juga hukum yang membebaskan, betapapun ketatnya. Dan KS sangat baik bila diterjemahkan, dalam bahasa sehari-hari, kalau perlu dalam bahasa anak-anak (tapi kalau mau serius belajar KS ya belajarlah KS dalam bahasa aslinya sendiri saja sana, ndak usah ngajak umat lainnya mumet - mereka sudah mumet nyari makan nggedein anak. nanti kalau sudah pintar KS ajari umat itu dalam bahasa sehari-hari. semakin pinter KS berarti harus makin pinter ngajar dengan nalar yang sederhana. jangan ruwet, bikin ngantuk). TPE juga begitu. Kalau semakin banyak jiwa yang terbantu berdoa dengan akulturasi, mengapa tidak?
Dan karena pertanggungjawaban iman yang seperti inilah maka saya memang cocoknya jadi imam di Nicaragua sana. Mengapa? Karena Gereja Katolik di .... mungkin tidak siap.
****
Tetapi kembali ke pokok, apakah suatu saat nanti terbit ensiklik yang menetapkan bahwa TPE teranyar harus dibalik dari depan ke belakang urutannya. Misalnya: mulai dengan kolekte dulu kek...lalu diakhiri dengan bacaan epistola kek....terserah saja. Gimana maunya panitia perumus...., suka-suka kau sajalah hahahaha (terpingkal-pingkal, terbahak-bahak, terguling-guling....ampe atit peyutna....)
(lalu diam, sepi, hening) Yang penting, (wajah serius lagi) apakah TPE itu berjiwa bergairah berroh bermakna bermanfaat berfaedah menyejukkan kemudian dibutuhkan dirindukan karena menjadi oase bagi jiwa yang haus akan persatuan dengan Tuhannya? apakah TPE yang adalah rangkaian ritus itu membantu semakin banyak umat untuk merasakan sakramen: bahwa Tuhan hadir dan kehadiran Tuhan kita rayakan dengan sukacita penuh syukur. (nada semakin tinggi)
(Suara kembali lemah lembut lagi) Kita mungkin menaruh sinis pada Protestan yang berani mengaktualisasi dan mengekspresikan batinnya dalam rangkaian ibadah mereka. Dan kita tidak habis pikir, mengapa mereka melakukan itu. Tetapi, percayalah mereka juga tidak habis pikir mengapa kita tidak jemu berkutat dengan TPE ini. Mari...jangan membeda-bedakan. Kita ya kita. Mereka ya mereka. Kita hormati mereka seperti mereka telah menghormati kita. Kalau TPE ini dianggap benar atau dianggap terlalu keblinger, marilah kita bahas dengan riuh rendah di antara kita saja. Tapi sekali lagi, cara kita hanya akan cocok untuk kita. Kita percaya sungguh bahwa Roh Tuhan yang menyertai kita sekalian selama berabad-abad. Dan Roh Tuhan itu ternyata juga telah menyertai mereka sekalian selama ini. Betul? Setuju? Akur? Okay? Owwwwrait, Bro! Hallleluyahhh. (berseru nyaring sekali)
***
Kalau saya dianggap liar karena ini, ya tidak apa-apa. Inilah resikonya ikut Yesus, bukan? Rasul pertama dulu juga pastinya gila dan nekad, meninggalkan keluarga untuk ikut Yesus. Kita tidak segila itu lah. Kalau kita berkeluarga, apa ya mau meninggalkan keluarga untuk ikut Yesus? Lalu yang kasih makan mereka siapa? Yang nyekolahin? Yang ndokterin? Yang kasih uang jajan? Yang mbeliin laptop ps3 motor mobil? Yang ngawinin? Itulah sebabnya, sebagai imam, kita harus selibat. Karena kita tidak cukup gila untuk meninggalkan dan menelantarkan mereka bukan? Itulah ide paling waras perihal selibat. Aje gile...hihihi...santai Bro. Pisss.
Btw, Yesus juga begitu. Yesus dianggap sangat liar oleh para imam Yahudi. Bahkan karena makin hari makin liar, mereka sepakat bahwa Yesus harus mati. Nah, bertahun-tahun sesudahnya...barulah semakin banyak orang menerima Yesus sebagai pribadi yang justru dianggap sangat santun dan lemah lembut. Beribu-ribu tahun kemudian Gereja Katolik mengajarkan tradisi iman itu kepada kita.
Tadi malam saya bermimpi.
Dalam mimpi itu saya ikut Yesus sebagai misdinar. Kami masuk beberapa gereja.
Ada misa yang ritualnya khusuk sekali. Bahasanya tidak saya kenal. Kedengarannya hanya seperti bergumam saja. Tidak ada bunyi-bunyian apapun. Hanya ting-ting, kadang lalu jadi tung-tung, balik jadi ting-ting lagi. Syair lagunya pendek saja tapi berulang-ulang. Ritmis sekali. Di akhir misa Yesus sujud mengucap syukur.
Kemudian kami masuk gereja lain. Ada orgel besar. Ada banyak lilin. Bahasanya bahasa latin. Saya ikuti sebisa-bisanya karena tidak ada teksnya. Lagunya bagus sekali. Gregorian yang sejuk. Di akhir misa Yesus sujud mengucap syukur.
Lalu kami masuk gereja lain lagi. Bagunan pendopo. Ada gamelan lengkap. Ada padi dan ubi sebagai kolektenya. Lagunya mendayu-dayu. Sebagian ikut bernyanyi sambil meliuk-liukkan kepala. Ada yang badannya berayun-ayun ke depan ke belakang ikut irama. Ada juga yang tangannya ikut klotekan, menabuh-nabuh sesuatu. Di akhir misa Yesus sujud mengucap syukur.
Trus kami naik perahu, masuk ke hutan, menyusuri sungai, merayapi rawa, naik ke perbukitan, tiba di suatu lembah. Kami berdoa, lalu mulai misa. Tidak ada musik. Malah ada suara nyamuk yang berdesing terbang kesana kemari. Tidak ada kolekte, tidak ada persembahan. Tapi ada pengumuman, sesudah misa kami pesta makan. Makanannya di tumpukan batu-batu panas. Di akhir misa Yesus sujud mengucap syukur.
Akhirnya, kami masuk ruang kecil. Hanya ada tv. Saya perhatikan channelnya. EWTN. Yesus duduk menyimak siaran misa itu. Sebagai misdinar, saya tidak tugas apa-apa. Hanya ikut duduk, diam, menonton. Di akhir misa Yesus sujud mengucap syukur.
Cape...saya keluar ruangan, mencari-cari misdinar lain yang mau bergantian tugas...eeee... nemu blackberry. Pas saya pegang, berbunyi dia. Alarm bangun pagi.
Nanti malam, semoga mimpinya berlanjut. Biar saya bisa bertanya pada Tuhan, sebenarnya misa mana yang paling bagus. Nanti saya beritahu anda jawabannya.
Tunggu saja...saat ini saya belum tidur.
Sebelum tidur nanti saya akan berdoa dulu...mea culpa, mea culpa, mea maxima culpa...
Wassalve. (lagi)