Sabtu, 24 September 2011

BALAPAN BERHENTI

25 September 2011
Mat 21:28-31


Sekarang banyak sekali perlombaan. Semua hal dilombakan. Bahkan ada yang mensertifikasi pada tingkat paling (ultimate level). Lucu-lucu. Pesertanya banyak, penontonnya juga banyak. Pemenangnya adalahyang ter....”. Entah tercepat, entah terlama. Itulah salah satu yang menarik saat ini.

Dalam perikop injil minggu ini, Yesus mengatakan perlunya berlomba untuk bertobat. Dan nyatanya yang sering menang justru adalah orang-orang yang paling sering berdosa, atau yang dicap berdosa (entahlah yang benar bagaimana).

Benarlah bahwa karena tidak merasa sakit, kita tidak perlu berobat. Hanya bila mencemaskan kondisi kesehatan, baru kita pergi memeriksakan diri. Yesus sering mengumpamakan dirinya sebagai tabib, dokter jaman dulu. Karena kehadiran Yesus yang mengampuni dosa sungguh membebaskan. Bagaikan tabib yang menyembuhkan. Dan kehadiran Yesus sampai kini tetap membawa efek yang sama persis. Karena itulah kita pun mengungkapkan pengakuan Yesuslah Kristus Tuhan yang datang mengampuni jiwa-jiwa berdosa.

Lantas bagaimana bila kita dapat berhasil hidup tanpa cacat dan tak bercela? Ya...tentu bagus sekali. Sama seperti orang yang sehat walafiat tentu tidak memerlukan dokter untuk menyembuhkan, maka orang berdosa juga tidak memerlukan Tuhan untuk mengampuninya. Lho...wajar toh ya? Kalau no sick no medicine. Ya mestinya, no sin no mercy. (pssst kalau sudah jadi orang benar, boleh nggak minta pin bb-nya? Hihihihi...)
 
Benarkah? Mungkin benar. Tapi juga mungkin tidak. Karena orang sehat juga tetap memerlukan saran hidup yang sehat dari ahli kesehatan: mungkin ahli gizi, mungkin juga dokter. Jadi orang benar juga perlu petunjuk hidup yang benar di hadapan sesama dan di hadapan Tuhan-nya. Dalam kerangka pikiran inilah, kita tetap perlu Tuhan.

Tetapi mengapa bacaan injil kali ini bernada keras? Seolah-olah orang berdosa dapat mengungguli orang benar untuk masuk kerajaan Allah. Jawabnya mungkin karena perbedaan sikap batin. Orang benar tidak merindukan pengampunan, tidak dahaga akan penghiburan. Hidupnya begitu tenang, teduh, bening, hening. Hidup orang berdosa justru sebaliknya. Ia penuh hingar bingar, keras, keruh, gelap. Hidupnya seolah jauh dari kebenaran.

Tetapi tak usahlah cemas. Karena perikop ini mengabarkan yang sebaliknya. Orang berdosa berpeluang sama untuk meraih surga. “karena Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa.” (Mat 9:13) Bahkan menurut Yesus, orang berdosa mungkin lebih cepat masuk surga. (Mat 21:31)

Jadi, percuma jadi orang benar? Tidak juga! Orang berdosa harus didorong untuk jadi orang benar. Orang berdosa bisa masuk surga pasti bukan karena dosanya, melainkan karena pertobatannya dan lalu berhasil jadi orang benar. Wah...ruwet ya?

Hmm...kira-kira begini penjelasannya. Kerinduan orang berdosa begitu besar, hingga ia selalu mencari-cari jalan ke surga. Begitu besar semangat ini sehingga – menurutYesus – ia lebih cepat sampai dari pada orang benar. Ibarat perlombaan, orang berdosa lebih cepat berhenti berdosa untuk menemukan pintu surga. Nah...orang benar sering masih terhanyut dan terapung dalam kedamaian hidupnya sehingga justru sulit berhenti di depan pintu surga.

Ada yang sudah sampai? Hehehe....kenalan dong.

Jumat, 23 September 2011

(masih) PEMBERKATAN ANAK2 SETELAH KOMUNI

Masih menyoal hal yang sama: TPE. 
Ide dasarnya sederhana sekali. 
Bahwa beriman dan berdoa itu perlu tanggung jawab. Bahwa kalaulah semua yang fana di dunia ini bisa kekal, maka yang kekal itu adalah perubahan. Dalam pengertian inilah bertobat berarti berubah. Beriman juga berubah. Semakin beriman semakin berubah. Berdoa juga, apalagi TPE. 
Apakah TPE sekarang lebih katolik? Apakah TPE jaman perang kemerdekaan RI kurang katolik? Apakah TPE yang disusun semirip mungkin dengan liturgi misa abad pertengahan dulu itu sudah tradisional? Apakah TPE sekarang ini lebih asli dibanding liturgi yang digelar diam-diam di katakombe dua ribu tahun lalu? 
Saya lalu menulis demikian:
Saya merenungkan, benar atau salahkah bila saya menghayati iman katolik saya dengan cara saya.

Bicara mengenai tradisi TPE, manakah yang benar? TPE sekarang? (Berarti TPE sebelumnya ndak benar? atau sekurang-kurangnya kurang benar, dong?) Apakah TPE sekarang lebih benar dan lebih katolik? Kata siapa? Sewaktu pra-Konsili Vatikan II, TPE sekarang ini dianggap tabu. Apa yang kita lakukan sekarang dengan TPE dianggap perubahan radikal (istilah lainnya mungkin: jauh lebih norak). Sayang, saya lahir pasca Konsili Vatikan. Dan nyatanya setelah beberapa dekade berlalu, Gereja sekarang dianggap dalam banyak hal jauh lebih kreatif. Termasuk soal TPE. Benar tidak? Kalau benar demikian, mengapa tidak dari dulu saja diterapkan TPE seperti ini. Coba...seandainya sejak jaman kumpeni dulu pastor-pastor londo itu menggelar misa dalam bahasa betawi, atau jawi kuno, atau papua. Coba...seandainya KS sejak jaman penemuan mesin cetak sudah boleh diterjemahkan dalam bahasa lokal, termasuk bahasa sunda. Apa jadinya? Apa Gereja Katolik akan lebih jelek atau lebih bagus?

Tapi inilah gaya katolik, kalau saja bertolak belakang dengan arus yang namanya ketentuan Roma (yang diantara perumusnya pernah jadi teman se-dormit kita juga) maka dianggap bikin gereja tandingan lah, aliran katolik baru lah. Perlu kearifan yang sederhana bahwa Gereja Katolik adalah gereja yang bertumbuh dalam penghayatan imannya. Kalau belajar sejarah, maka baru bisa tahu bahwa gereja kita adalah gereja yang lucunya menggemaskan dan sekaligus menjengkelkan.

Pernah tahu 'kan bahwa Galileo Galilei dihukum Gereja kita gara-gara bilang bahwa bumi mengelilingi matahari ? Juga tahu dong bahwa dulu Kitab Suci dulu tidak boleh diterjemahkan ? Bagaimana dengan ulah Gereja yang menjadi tuan tanah ? Sucikah perang salib ? Bersalahkan Martin Luther? Berdosakah Yohanes Calvin? Tepatkah pembantaian kaum hugenot di Perancis?

Kalau begitu, maka benarlah: Gereja kita dulu memang begitu. Sekarang sudah tidak.
Dan begitu juga benarlah: TPE dulu juga begitu. Sekarang sudah tidak.
Artinya, benarlah bahwa memang ada perubahan pada Gereja Katolik.
Dan perubahan itu butuh proses, perlu waktu.

Nah inilah kuncinya, ada beberapa yang berpikiran terlalu maju dari jamannya. 
Mereka ini sebenarnya visioner di satu sisi namun pembelot di sisi lain. 
Persoalan berikutnya adalah berada disisi mana anda menanggapi persoalannya.

Hehehe...sederhana bukan?

Pertanggungjawaban iman saya sih sederhana saja. Saya mengucapkan Credo dengan sepenuh hati. Saya berdoa Bapa Kami. Dan bagi saya, Yesus adalah Kristus yang pernah hidup sengsara bangkit dan kini jaya. Dan bahwa Yesus adalah Kristus yang membebaskan. Hukum Kanonik adalah juga hukum yang membebaskan, betapapun ketatnya. Dan KS sangat baik bila diterjemahkan, dalam bahasa sehari-hari, kalau perlu dalam bahasa anak-anak (tapi kalau mau serius belajar KS ya belajarlah KS dalam bahasa aslinya sendiri saja sana, ndak usah ngajak umat lainnya mumet - mereka sudah mumet nyari makan nggedein anak. nanti kalau sudah pintar KS ajari umat itu dalam bahasa sehari-hari. semakin pinter KS berarti harus makin pinter ngajar dengan nalar yang sederhana. jangan ruwet, bikin ngantuk). TPE juga begitu. Kalau semakin banyak jiwa yang terbantu berdoa dengan akulturasi, mengapa tidak?

Dan karena pertanggungjawaban iman yang seperti inilah maka saya memang cocoknya jadi imam di Nicaragua sana. Mengapa? Karena Gereja Katolik di .... mungkin tidak siap.

****

Tetapi kembali ke pokok, apakah suatu saat nanti terbit ensiklik yang menetapkan bahwa TPE teranyar harus dibalik dari depan ke belakang urutannya. Misalnya: mulai dengan kolekte dulu kek...lalu diakhiri dengan bacaan epistola kek....terserah saja. Gimana maunya panitia perumus...., suka-suka kau sajalah hahahaha (terpingkal-pingkal, terbahak-bahak, terguling-guling....ampe atit peyutna....)
(lalu diam, sepi, hening) Yang penting, (wajah serius lagi) apakah TPE itu berjiwa bergairah berroh bermakna bermanfaat berfaedah menyejukkan kemudian dibutuhkan dirindukan karena menjadi oase bagi jiwa yang haus akan persatuan dengan Tuhannya? apakah TPE yang adalah rangkaian ritus itu membantu semakin banyak umat untuk merasakan sakramen: bahwa Tuhan hadir dan kehadiran Tuhan kita rayakan dengan sukacita penuh syukur. (nada semakin tinggi)

(Suara kembali lemah lembut lagi) Kita mungkin menaruh sinis pada Protestan yang berani mengaktualisasi dan mengekspresikan batinnya dalam rangkaian ibadah mereka. Dan kita tidak habis pikir, mengapa mereka melakukan itu. Tetapi, percayalah mereka juga tidak habis pikir mengapa kita tidak jemu berkutat dengan TPE ini. Mari...jangan membeda-bedakan. Kita ya kita. Mereka ya mereka. Kita hormati mereka seperti mereka telah menghormati kita. Kalau TPE ini dianggap benar atau dianggap terlalu keblinger, marilah kita bahas dengan riuh rendah di antara kita saja. Tapi sekali lagi, cara kita hanya akan cocok untuk kita. Kita percaya sungguh bahwa Roh Tuhan yang menyertai kita sekalian selama berabad-abad. Dan Roh Tuhan itu ternyata juga telah menyertai mereka sekalian selama ini. Betul? Setuju? Akur? Okay? Owwwwrait, Bro! Hallleluyahhh. (berseru nyaring sekali)

***

Kalau saya dianggap liar karena ini, ya tidak apa-apa. Inilah resikonya ikut Yesus, bukan? Rasul pertama dulu juga pastinya gila dan nekad, meninggalkan keluarga untuk ikut Yesus. Kita tidak segila itu lah. Kalau kita berkeluarga, apa ya mau meninggalkan keluarga untuk ikut Yesus? Lalu yang kasih makan mereka siapa? Yang nyekolahin? Yang ndokterin? Yang kasih uang jajan? Yang mbeliin laptop ps3 motor mobil? Yang ngawinin? Itulah sebabnya, sebagai imam, kita harus selibat. Karena kita tidak cukup gila untuk meninggalkan dan menelantarkan mereka bukan? Itulah ide paling waras perihal selibat. Aje gile...hihihi...santai Bro. Pisss.

Btw, Yesus juga begitu. Yesus dianggap sangat liar oleh para imam Yahudi. Bahkan karena makin hari makin liar, mereka sepakat bahwa Yesus harus mati. Nah, bertahun-tahun sesudahnya...barulah semakin banyak orang menerima Yesus sebagai pribadi yang justru dianggap sangat santun dan lemah lembut. Beribu-ribu tahun kemudian Gereja Katolik mengajarkan tradisi iman itu kepada kita. 
Tadi malam saya bermimpi. 
Dalam mimpi itu saya ikut Yesus sebagai misdinar. Kami masuk beberapa gereja.  
Ada misa yang ritualnya khusuk sekali. Bahasanya tidak saya kenal. Kedengarannya hanya seperti bergumam saja. Tidak ada bunyi-bunyian apapun. Hanya ting-ting, kadang lalu jadi tung-tung, balik jadi ting-ting lagi. Syair lagunya pendek saja tapi berulang-ulang. Ritmis sekali. Di akhir misa Yesus sujud mengucap syukur.

Kemudian kami masuk gereja lain. Ada orgel besar. Ada banyak lilin. Bahasanya bahasa latin. Saya ikuti sebisa-bisanya karena tidak ada teksnya. Lagunya bagus sekali. Gregorian yang sejuk. Di akhir misa Yesus sujud mengucap syukur.

Lalu kami masuk gereja lain lagi. Bagunan pendopo. Ada gamelan lengkap. Ada padi dan ubi sebagai kolektenya. Lagunya mendayu-dayu. Sebagian ikut bernyanyi sambil meliuk-liukkan kepala. Ada yang badannya berayun-ayun ke depan ke belakang ikut irama. Ada juga yang tangannya ikut klotekan, menabuh-nabuh sesuatu. Di akhir misa Yesus sujud mengucap syukur.


Trus kami naik perahu, masuk ke hutan, menyusuri sungai, merayapi rawa, naik ke perbukitan, tiba di suatu lembah. Kami berdoa, lalu mulai misa. Tidak ada musik. Malah ada suara nyamuk yang berdesing terbang kesana kemari. Tidak ada kolekte, tidak ada persembahan. Tapi ada pengumuman, sesudah misa kami pesta makan. Makanannya di tumpukan batu-batu panas. Di akhir misa Yesus sujud mengucap syukur.


Akhirnya, kami masuk ruang kecil. Hanya ada tv. Saya perhatikan channelnya. EWTN. Yesus duduk menyimak siaran misa itu. Sebagai misdinar, saya tidak tugas apa-apa. Hanya ikut duduk, diam, menonton. Di akhir misa Yesus sujud mengucap syukur.

Cape...saya keluar ruangan, mencari-cari misdinar lain yang mau bergantian tugas...eeee... nemu blackberry. Pas saya pegang, berbunyi dia. Alarm bangun pagi.

Nanti malam, semoga mimpinya berlanjut. Biar saya bisa bertanya pada Tuhan, sebenarnya misa mana yang paling bagus. Nanti saya beritahu anda jawabannya.
Tunggu saja...saat ini saya belum tidur.
Sebelum tidur nanti saya akan berdoa dulu...mea culpa, mea culpa, mea maxima culpa...

Wassalve. (lagi)

Jumat, 16 September 2011

PEMBERKATAN ANAK² SETELAH KOMUNI

Dalam salah satu milis yang saya ikuti, ditulis tentang pemberkatan anak2 setelah komuni.
Dan beginilah pendapat saya:

Mohon maaf, di satu sisi mungkin ada kewajiban untuk menjaga TPE sebagai ritus. Tapi lebih penting lagi menjaga semangat doa non ritual: bagaimana memberi vitamin pada hati yang terberkati agar bisa menjadi berkat bagi lebih banyak jiwa. Kalau terus menerus mengurusi hal2 begini, hidup beriman kita ibarat siklus: kembali jadi jaman yahudi dan menjadi farisi yang terjebak di abad modern.

Tantangan kita jauh lebih besar dari sekedar  Tata Perayaan Ekaristi/TPE. Maka, pentingkah TPE? Penting. Tapi jauh lebih penting membangun tangan2 Kristus yang siap berkarya. Dalam pengertian itu, Sakramen Ekaristi ibaratnya oase, tempat berkumpulnya semua domba Kristus memuaskan haus dahaganya akan persatuan dengan Tuhan. Dan untuk itulah kita datang berbondong2 merayakannya. Setelah itu...kita berkarya: melaksanakan tugas yang jauh lebih penting: tugas perutusan.

Kembali ke konteks: anak2 adalah generasi sekarang dari dunia kita. Salah satu kesulitan orang tua katolik ketika memperkenalkan ekaristi (a.l.) harus bertarung dengan hebatnya daya tarik game portabel psp, ipod, ipad, iphone, bb. Nah, salah satu acara yang menarik perhatian mereka ketika ikut misa bersama orangtuanya adalah: ikut sekolah minggu (itu juga kalau ada kelas katekese atau bina iman yang seru [...ya dong harus seru, kalau ndak seru ya ndak asyik ndak menarik...] dan yang pararel waktunya dengan misa minggu) dan kemudian berbaris ke depan, saling dorong, senyum-senyum, tengak tengok, curi-curi pandang...melirik ke orang tuanya (sambil berharap orang tua menyaksikan mereka dan memberi senyum) dan .... menerima berkat dari pastor (yang diartikan oleh orangtunya sebagai berkat dari Tuhan!).

Menjadi alter Cristhi di jaman ini sangat tidak mudah. Pasti sama tidak mudahnya dengan Yesus dahulu ketika menjadi Allah yang membebaskan yang mengasihi. Gaya Yesus sebagai Kristus sangatlah tidak populer di jamanNya. Yesus baru populer "kemudian" setelah Ia sengsara wafat dan bangkit.

Tapi wajar ada imam dan anggota dewan yang berpikiran seperti itu. Apalagi kalau mereka sudah ikut seminar atau pelatihan tentang Tata Perayaan Ekaristi. Wuaduh, seolah semua materi TPE itulah kebenaran sejati. 

Maka baiklah bila kita berandai-andai: seandainya Tuhan sendiri hadir dalam perayaan Ekaristi itu...tidakkah Tuhan akan melakukan hal yang persis sama seperti yang dulu pernah dilakukannya dua ribu tahun lalu?

Menjadi pastor juga soal pilihan. Menjadi anggota dewan pun demikian. Menjalankan TPE (nyatanya) juga pilihan (bukan?).

Mari kembali pada kabar baik yang membebaskan dan meneguhkan dalam setiap langkah. Hukum dibuat untuk membebaskan dan bukan mengekang. Begitu pengertian saya tentang kanonik. Dan saya percaya pasti demikian dengan TPE.

Mari kita cermati Matius 19:13-15
"13  Lalu orang membawa anak-anak kecil kepada Yesus, supaya Ia meletakkan tangan-Nya atas mereka dan mendoakan mereka; akan tetapi murid-murid-Nya memarahi orang-orang itu.
 14  Tetapi Yesus berkata: "Biarkanlah anak-anak itu, janganlah menghalang-halangi mereka datang kepada-Ku; sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Sorga."
 15  Lalu Ia meletakkan tangan-Nya atas mereka dan kemudian Ia berangkat dari situ."

Kalau bukan seperti itu yang kita lakukan, lalu mau ikut teladan siapa?
Mungkin saya dituduh tidak mau tunduk pada Konsili Vatikan II dan tidak taat pada TPE. Ahhh...saya sih tunduk dan taat pada Tuhan saja.

Wassalve.

Rabu, 14 September 2011

CUKUP BELAJAR CUKUP

18 September 2011
Mat 20:1-215

Salah satu cara mencerapi injil adalah beridentifikasi dengan tokohnya. Dalam bacaan kali ini, yang paling mudah adalah “Bila Aku Menjadi...Buruh Upahan”. Kerennya: karyawan. Maka pesannya adalah tidak boleh iri kalau ada karyawan baru lainnya yang menerima upah yang sama. Begitu, sederhana.

Tapi...kiranya tidak hanya itu. Pelajaran lain ada pada kalimat terakhir pada perikop ini. Belajar untuk tidak iri. Bagaimana caranya supaya tidak iri atas upah sedinar sehari? Bila sedinar itu seumpana anugerah rahmat talenta berkat rejeki yang Tuhan telah beri, dan bila sehari itu seumpana waktu seumur hidup kita, maka bagaimana caranya agar kita tidak iri karena Tuhan murah hati?
Ternyata caranya sederhana saja. Bila hidup adalah suatu simfoni, maka mainkanlah dengan nada dasar C! Nada dasar CUKUP!

Cukup adalah pelajaran dasar yang sangat sulit karena terlalu mudah. Wah! Aneh ya? Ya, benar. Kita terlalu mudah menyatakan cukup, apabila hak kita diinjak, apabila kesenangan kita diganggu. Kita buru-buru mengatakan cukup, bila kita harus mengampuni, harus mengasihi. Pendek kata, kalau terkait dengan kewajiban biasanya cukup adalah kata paling manjur untuk mengakhiri semuanya. “Cukup!”, maka hilanglah kasih itu.
Bila demikian, jelaslah bahwa cukup menjadi pelajaran yang sangat sulit. Betapa sulit kita mengatasi keengganan untuk mengasihi, memaafkan? Semakin sulit mengasihi akan semakin sulit pula kita mengatakan cukup untuk semua yang menjadi hak kita. Pantaslah bila banyak pegawai mengeluhkan gajihnya, pengusaha mengeluhkan keuntungannya, istri mengeluhkan suaminya (dan sebaliknya), anak-anak mengeluhkan orangtuanya gurunya. Semua merasa serba kurang. Tunggu saja sampai intensitasnya meningkat: keluhan itu akan menjadi kemarahan dan meletup menjadi amukan. Duilah....kalau tertangkap gelombang radio, maka dunia akan riuh frekwensi negatif.
Padahal pengertian cukup tidak serta merta terkait dengan jumlah, nilai, mutu. Tidak. Dalam banyak hal: cukup adalah soal rasa, kepuasan, hati. Cukup hanya bisa diungkapkan oleh orang yang bisa bersyukur. Cukup juga bukan mantra sakti yang akan mengakhiri perjuangan, menghentikan usaha pertumbuhan, mematikan semangat berkarya. Namun cukup adalah kata kunci untuk menjadi bahagia menikmati semua jerih payah itu.

Belajarlah mencukupkan diri dengan apa yang ada pada kita saat ini, yang Tuhan sudah berikan sebagai berkat dan rejeki, maka niscaya kita akan menjadi lebih berbahagia.
Bila semuanya sudah, maka cukuplah belajar cukup.
 
Sekarang.
 
Cukup.