18 September 2011
Mat 20:1-215
Salah satu cara mencerapi injil adalah beridentifikasi dengan tokohnya. Dalam bacaan kali ini, yang paling mudah adalah “Bila Aku Menjadi...Buruh Upahan”. Kerennya: karyawan. Maka pesannya adalah tidak boleh iri kalau ada karyawan baru lainnya yang menerima upah yang sama. Begitu, sederhana.
Tapi...kiranya tidak hanya itu. Pelajaran lain ada pada kalimat terakhir pada perikop ini. Belajar untuk tidak iri. Bagaimana caranya supaya tidak iri atas upah sedinar sehari? Bila sedinar itu seumpana anugerah rahmat talenta berkat rejeki yang Tuhan telah beri, dan bila sehari itu seumpana waktu seumur hidup kita, maka bagaimana caranya agar kita tidak iri karena Tuhan murah hati?
Ternyata caranya sederhana saja. Bila hidup adalah suatu simfoni, maka mainkanlah dengan nada dasar C! Nada dasar CUKUP!
Cukup adalah pelajaran dasar yang sangat sulit karena terlalu mudah. Wah! Aneh ya? Ya, benar. Kita terlalu mudah menyatakan cukup, apabila hak kita diinjak, apabila kesenangan kita diganggu. Kita buru-buru mengatakan cukup, bila kita harus mengampuni, harus mengasihi. Pendek kata, kalau terkait dengan kewajiban biasanya cukup adalah kata paling manjur untuk mengakhiri semuanya. “Cukup!”, maka hilanglah kasih itu.
Bila demikian, jelaslah bahwa cukup menjadi pelajaran yang sangat sulit. Betapa sulit kita mengatasi keengganan untuk mengasihi, memaafkan? Semakin sulit mengasihi akan semakin sulit pula kita mengatakan cukup untuk semua yang menjadi hak kita. Pantaslah bila banyak pegawai mengeluhkan gajihnya, pengusaha mengeluhkan keuntungannya, istri mengeluhkan suaminya (dan sebaliknya), anak-anak mengeluhkan orangtuanya gurunya. Semua merasa serba kurang. Tunggu saja sampai intensitasnya meningkat: keluhan itu akan menjadi kemarahan dan meletup menjadi amukan. Duilah....kalau tertangkap gelombang radio, maka dunia akan riuh frekwensi negatif.
Padahal pengertian cukup tidak serta merta terkait dengan jumlah, nilai, mutu. Tidak. Dalam banyak hal: cukup adalah soal rasa, kepuasan, hati. Cukup hanya bisa diungkapkan oleh orang yang bisa bersyukur. Cukup juga bukan mantra sakti yang akan mengakhiri perjuangan, menghentikan usaha pertumbuhan, mematikan semangat berkarya. Namun cukup adalah kata kunci untuk menjadi bahagia menikmati semua jerih payah itu.
Belajarlah mencukupkan diri dengan apa yang ada pada kita saat ini, yang Tuhan sudah berikan sebagai berkat dan rejeki, maka niscaya kita akan menjadi lebih berbahagia.
Bila semuanya sudah, maka cukuplah belajar cukup.
Sekarang.
Cukup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar