Selasa, 22 Desember 2009

Pre Natal, Neo Natal

Pekan Adven IV, 20 Desember 2009
Bacaan Ekaristi: Mikha 5:2-5a, Ibrani 10:5-10, Lukas 1:39-45


Apakah anda mengenal istilah itu? Pre Natal adalah masa persiapan kelahiran. Ada kegembiraan dan kecemasan silih berganti. Kalau ada flek tentu cemas. Tetapi tidak ada flek juga tetap cemas. Gembira karena hari kelahiran semakin dekat. Gembira karena akan lahir anak sulung kami. Suasana inilah yang pada minggu ini kita peringati. Suasana menjelang kelahiran anak sulung Bunda Maria dan Bapa Yusuf. Dalam kondisi mengandung, Bunda Maria pergi mendaki pegunungan untuk mengunjungi rumah Zakaria dari Nazareth ke Yehuda. Luar biasa memang Bunda Tuhan itu, meskipun tidak dijelaskan dalam usia kandungan berapa bulan, akan tetapi kisah ini menunjukkan sukacita yang besar yang hendak dibagikan Sang Bunda kepada saudaranya. Suasana gembira itu langsung dirasakan oleh Ibu Elisabet dan bahkan janin dalam kandungannya. Bdk. Luk 1:39-45. Ayat yang ke 42 begitu terkenal, sehingga menjadi salah satu kalimat dalam doa Salam Maria.
42 ... lalu berseru dengan suara nyaring: "Diberkatilah engkau di antara semua perempuan dan diberkatilah buah rahimmu.

Suasana ini juga ada pada keluarga menjelang kelahiran anak-anak kami. Tetapi khusus pre-natal anak sulung kami, ada yang berbeda. Menjelang persiapan upacara syukur 7 bulanan, pre-natal itu menjadi neo-natal. Saya sendiri baru mengetahui istilah Neo Natal itu saat anak sulung saya lahir prematur pada usia 6,5 bulan. Bukan main. Dokter malah sempat memperkirakan beratnya hanya berkisar 700gr hingga 1500gr saja. Ternyata ia lahir dengan berat 1646gr panjang 41cm. Selama 7 hari ia dirawat di ruang NICU, neonatal intensive care unit. Pengalaman selanjutnya saya sharingkan. Begini.

7 hari pertama adalah saat yang penuh kecemasan di ruangan itu. Begitu mungilnya ia, sampai pampers impor tertipis untuk new born babies pun masih dikenakannya sebatas dada, persis seperti celana Obelix. Dokter spesialis anak yang merawat anak kami sekaligus spesialis prematur juga. Ia berpesan agar kami tidak menunjukkan rasa cemas, melainkan sebaliknya. Jadi dengan berpelukan kami saling menguatkan satu sama lain. Dan sambil bergandengan, kami menjenguk anak kami yang terbaring di dalam inkubator. Udara di dalam inkubator sungguh panas. Pastinya mendekati suhu tubuh ibunya, karena memang sengaja dikondisikan seperti dalam rahim. Lalu kami berbisik melalui lubang inkubator, sesekali bernyanyi, menyapa, mengajaknya tertawa, menyentuh jemarinya, menggelitiki. Ia belajar merespon kami. Senyum-senyum. Tangisannya begitu lemah hingga terdengar seperti merintih. Sementara alat monitor jantung, paru-paru sekali-kali menunjukkan kinerja yang tidak beraturan. Memang begitulah bayi prematur. Cairan di paru-parunya belum penuh dan otak belum berkembang sempurna. Suatu waktu computer mencatat bahwa bayi kami ini lupa bernafas. Ya benar, saking lelapnya ia tertidur, paru-parunya ikut lelap. Untung ada alat kedokteran yang canggih sehingga segera menyetrum telapak kakinya dan kejutan ini membuat ia terbangun dan kembali bernafas normal.

Setelah itu ia dipindahkan ke kamar perawatan intensif lainnya. Di ruang inilah kami berjumpa dengan ibu Indrawati, seorang ibu yang masuk rekor MURI karena melahirkah seorang anak dengan tubuh mungil setinggi 72cm. Suka tidak suka, inilah pengajaran Tuhan. Tuhan memberi contoh yang tegas dan jelas, bagaimana mengurus anak dengan segala keterbatasan. Kami bersyukur bahwa secara fisik kami memiliki kelebihan. Tetapi kami juga bertobat, karena semangat kami agak rapuh. Maka terbitlah niat saya untuk belajar merawat kakak. Saya belajar menceboki, mengganti pakaian, menggendong dan menyusuinya. Ya, benar saya, karena ibunya masih takut menyaksikan tubuh kakak yang begitu mungil dan rapuh. Semangat Bu Indrawati membakar kami. Istri saya juga semakin rajin memeras asi dan menyimpannya dalam botol-botol kecil di kulkas. Asi memang harus diperas. Bayi prematur memang belum bisa menelan. Hampir 2 minggu kakak mengkonsumsi asi melalui sonde langsung ke lambung. Lalu beberapa hari belajar menyedot dan menelan asi dengan dot. Kemudian baru belajar menetek langsung dari ibunya.

Sampai minggu ketiga, kami belum memberinya nama. Kami masih memanggilnya 'kakak'. Hingga suatu waktu kami seperti disadarkan bahwa anak kami telah melalui masa-masa pertama kehidupannya dengan luar biasa. Ada keajaiban berkali-kali. Dan ...tuinggg...nguing...nguing sadarlah kami bahwa pastilah ini karena kuasa kasih Tuhan. Maka kami beri ia nama Samuel, berarti Tangan Tuhan.

Selama proses belajar ini, berat badannya naik turun. Kadang naik 15gr. Lalu belajar ngedot, hingga turun 10gr. Ketika suhu inkubator diturunkan, berat badanya ikut turun juga. Saya sering tidak sabar. Kalau bisa seperti membeli emas, saya bayar saja deh supaya langsung naik 500gr. Tetapi tentu tidak demikian. Proses tumbuh kembang berjalan berangsur-angsur, bisa terasa lambat namun sebenarnya cukup cepat berlalu. Naik dan turun adalah hal yang sangat biasa. Seperti juga proses pendewasaan iman. Suatu proses tumbuh kembang yang bagi saya seperti tiada berakhir. Kakak melalui proses itu selama 35 hari. 29 hari diantaranya dilaluinya di dalam inkubator. Sebelum kami bawa pulang, ia terlebih dahulu diperiksa oleh tim dokter. Semuanya dokter spesialis anak, tetapi masing-masing mengambil spesialis lagi. Ada spesialis mata, spesialis gastro, spesialis penyakit dalam, spesialis otak (ia memeriksa kepala anak saya dengan usg berwarna). Pokoknya macam-macam. Jangan tanya tagihannya. Saya tetap bersyukur bahwa Tuhan telah mengatur segala sesuatunya. Kami sebagai orang tua, hanya menjadi alat bagi kasih Tuhan. Kakak adalah salah satu anugerah, yang dipercayakan oleh Tuhan kepada kami. Untuk dikasihi dan dirawat.

Sekarang kakak telah berusia 4,5 tahun. Ia tumbuh dan berkembang sebagai anak lelaki yang menyenangkan. Tentu tidak saja karena ia sendiri berjuang dan berusaha tetap bertahan hidup sejak usia belia, tetapi juga karena upaya tak kenal lelah dari ibunya, istri saya, yang dengan tekun merawatnya. Diatas itu semua, tentu karena kuasa kasih Tuhan yang telah bekerja dengan cara-cara luar biasa.

Itu kisah drama keluarga kami. Kurang lebih 2000 tahun setelah Yesus lahir! Bagaimana dengan suasana menjelang Yesus lahir? Mari kita simak lagi Lukas 1:39-45 dan juga Mikha 5:2-5a, Ibrani 10:5-10. Selamat (membuka-buka dan) membaca Kitab Suci.

Tidak ada komentar: