Misa Ekaristi Fajar Natal, 25 Desember 2009
Bacaan Ekaristi: Yesaya 62:11-12, Titus 3:4-7, Lukas 2:15-20
Saya membayangkan. Ada antrian panjang untuk menghadap pengadilan Tuhan di saat kedatangan-Nya yang kedua. Maka saya tentu berada di barisan panjang itu. Mungkin ini bukan barisan terpanjang, karena masih ada barisan lain yang mengekor nyaris tak berujung. Itulah barisan yang pernah saya gambarkan sebagai 3 kelompok penyambutan Tuhan: kelompok yang siap, yang tidak siap dan yang siap-tidak-siap. Tentu saja (baca: sayangnya), saya masih di kelompok antrian terakhir. (Anda kira-kira di kelompok mana ya?)
Sambil pringas-pringis cemas, suara hati berseru-seru, “Rasain lu.” Sementara otak menanggapi dingin, “Ya wis.” karena memang sudah tidak ada pintu darurat atau tangga penyelamat apapun. Tapi telinga masih rajin menguping suara di sekitar saya. Suara itu pasti bukan obrolan, karena mulut sudah terkunci. Jadi, jangan-jangan suara batin yang menjerit-jerit hingga terdengar telinga saya. Berikut adalah petikan suara yang menarik.
“Semoga ada pengumuman, bahwa ini hanya gladi resik. Atau bahwa acara pengadilannya ditunda. Syukur-syukur sampai abad depan.”
“Bukankah Tuhan itu Maha Rahim, Maha Pengampun. Akankan semua orang, mereka yang sudah meninggal, kami yang masih hidup dan tentu saja including but not limited to diriku sendiri juga diampuni?”
“Memang hidupku tidak suci. Tetapi aku juga bukan penjahat tulen. Akankah pendosa kecil dan kambuhan sepertiku, bisa selamat ?”
“Kalau di saat-saat terakhir-Nya di kayu salib, Tuhanku telah mengampuni dosa orang yang baru beberapa menit dijumpaiNya, akankan Ia juga mengampuni dalam perjumpaan kali ini.”
“Mengapa kiamat harus terjadi? Mengapa pengadilan terakhir harus ada? Mengapa?”
“Bagaimana dengan anak-anakku? Akankah mereka juga bisa selamat?”
“Bagaimana dengan istriku? Seorang pejuang yang pendiam. Wonder woman yang baik hati. Ibu yang selalu siap untuk anak-anaknya. Akankah ia juga selamat. Bisakah kami tetap bersama dan berjumpa lagi?”
Tiba-tiba saya mendengar alarm hape. Wuaduh, sudah waktunya bangun beneran. Berarti itu tadi suara batin saya sendiri. Yang nyata dalam mimpi. Yang tetap resah menantikan Natal yang kian mendekat.
Saya berdoa, agar tidak terus menerus resah, dan tentu juga agar anda tidak seresah saya.
SELAMAT MERAYAKAN NATAL.
Bacaan Ekaristi: Yesaya 62:11-12, Titus 3:4-7, Lukas 2:15-20
Saya membayangkan. Ada antrian panjang untuk menghadap pengadilan Tuhan di saat kedatangan-Nya yang kedua. Maka saya tentu berada di barisan panjang itu. Mungkin ini bukan barisan terpanjang, karena masih ada barisan lain yang mengekor nyaris tak berujung. Itulah barisan yang pernah saya gambarkan sebagai 3 kelompok penyambutan Tuhan: kelompok yang siap, yang tidak siap dan yang siap-tidak-siap. Tentu saja (baca: sayangnya), saya masih di kelompok antrian terakhir. (Anda kira-kira di kelompok mana ya?)
Sambil pringas-pringis cemas, suara hati berseru-seru, “Rasain lu.” Sementara otak menanggapi dingin, “Ya wis.” karena memang sudah tidak ada pintu darurat atau tangga penyelamat apapun. Tapi telinga masih rajin menguping suara di sekitar saya. Suara itu pasti bukan obrolan, karena mulut sudah terkunci. Jadi, jangan-jangan suara batin yang menjerit-jerit hingga terdengar telinga saya. Berikut adalah petikan suara yang menarik.
“Semoga ada pengumuman, bahwa ini hanya gladi resik. Atau bahwa acara pengadilannya ditunda. Syukur-syukur sampai abad depan.”
“Bukankah Tuhan itu Maha Rahim, Maha Pengampun. Akankan semua orang, mereka yang sudah meninggal, kami yang masih hidup dan tentu saja including but not limited to diriku sendiri juga diampuni?”
“Memang hidupku tidak suci. Tetapi aku juga bukan penjahat tulen. Akankah pendosa kecil dan kambuhan sepertiku, bisa selamat ?”
“Kalau di saat-saat terakhir-Nya di kayu salib, Tuhanku telah mengampuni dosa orang yang baru beberapa menit dijumpaiNya, akankan Ia juga mengampuni dalam perjumpaan kali ini.”
“Mengapa kiamat harus terjadi? Mengapa pengadilan terakhir harus ada? Mengapa?”
“Bagaimana dengan anak-anakku? Akankah mereka juga bisa selamat?”
“Bagaimana dengan istriku? Seorang pejuang yang pendiam. Wonder woman yang baik hati. Ibu yang selalu siap untuk anak-anaknya. Akankah ia juga selamat. Bisakah kami tetap bersama dan berjumpa lagi?”
Tiba-tiba saya mendengar alarm hape. Wuaduh, sudah waktunya bangun beneran. Berarti itu tadi suara batin saya sendiri. Yang nyata dalam mimpi. Yang tetap resah menantikan Natal yang kian mendekat.
Saya berdoa, agar tidak terus menerus resah, dan tentu juga agar anda tidak seresah saya.
SELAMAT MERAYAKAN NATAL.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar