Senin, 09 November 2009

Sabda Bahagia

Pekan Biasa XXXI, 1 November 2009,
Bacaan Ekaristi: Why 7:2-4, 9-14; 1Yoh 3:1-3; Mat 5:1-12a


Membaca Mat 5:1-12a, saya membayangkan Yesus yang duduk di bukit terlihat kecil dan saya yang memandang dari kejauhan. Di sekitar saya, para murid dan orang (sangat) banyak berkerumum. Kami semua asyik menyimak pengajaran Tuhan. Tetapi juga terbayang sikap skeptis beberapa orang. Di antara mereka ini adalah para ahli kitab Taurat dan pemuka agama. Bagi mereka, pengajaran Yesus tak ubahnya gangguan. Yesus dianggap mengganggu kekhusukan umat Yahudi karena ajaranNya dipandang nyeleneh. Yesus memang secara terang-terangan menyerang keberadaan mereka (bdk Mat 5:17-48). Padahal mereka ini kelompok yang sangat elit di kalangan orang Yahudi. Tidak hanya memiliki engaruh kuat, mereka juga memiliki banyak pengikut fanatik. Jangankan gentar, Yesus malah dengan gagah lantang dan terbuka menghujat mereka.

Tentu saja para ahli kitab itu gusar. Memangnya siapa sih, Yesus itu? Berani-beraninya Ia mengumbar janji: “kalau mereka begini, maka akan begitu; kalau bla-bla-bla maka kalian akan bli-bli-bli”. Dan bagi para ahli kitab itu, janji Yesus adalah janji yang terdengar luar biasa nekadnya. Bagaimana tidak? Seorang manusia bisa menjanjikan kepada para murid dan pendengarnya akan melihat Allah, menjadikan anakanak Allah, bahkan tidak sekedar menjadi penghuni tetapi bahkan pemilik kerajaan Surga! Ini jelas adalah sikap menghujat Kemahamuliaan Allah. Saha atuh, Yesus teh?

Bagi mereka, Yesus dianggap sebagai anak seorang tukang kayu dari Yerusalem, yang dilahirkan hanya di kandang ternak di Bethlehem. Yesus sama sekali bukan orang hebat, apalagi Nabi, apalagi Messias, apalagi Anak Allah yang turun menjadi manusia. Yesus hanyalah orang udik & melarat' yang terlalu sensitif dan sangat cerewet. Mengapa? Karena ada rasa iri dan dengki yang sedemikian hebat yang menutupi mata hati mereka untuk menyaksikan kebenaran Tuhan. Rentetan peristiwa mukjijat hanya dianggap sebagai penyembuhan serba kebetulan. Jadi Yesus tak lebih tabib belaka. Bisa jadi, Yesus juga dianggap seperti the master, alias pesulap melalui mukjijat-mukjijat lainnya. Paling bagus, Yesus dianggap anak ajaib karena mampu berdiskusi berjam-jam dengan para imam Bait Allah mengenai kitab Taurat dan hukum yahudi. Tetapi itu karena mereka belum menyaksikan kemuliaan Tuhan. Saat itu mereka belum menyaksikan keagungan misteri Paskah.

Lain para ahli kitab, lain pula kita. Kita tidak seperti para ahli kitab itu. Kita sangat beruntung telah menyaksikan misteri Paskah, yakni bahwa Yesus telah bangkit. Setelah kebangkitan Kristus itulah kita sekalian menjadi anak-anaknya. Gereja adalah ibu bagi kaum beriman. Gereja secara turun-temurun melestarikan dan meneruskan pengajaran Yesus itu. Gereja mengarungi jaman dan bergaul dengan berbagai budaya hingga sekarang. Dan melalui Gereja, kita telah memperoleh bukti bahwa memang Yesus itu sungguh manusia tetapi sekaligus sungguh Allah. Lewat misteri paskah, Yesus telah menunjukkan kemenangannya atas maut dan menebus dosa manusia. Luar biasa beruntungnya kita, bukan? Sangat benar bahwa apa yang telah ada sejak semula itu yang telah didengar, yang telah dilihat, yang telah disaksikan dan bahkan telah alami oleh GerejaNya itulah yang dinyatakan kepada kita. Gereja tidak membual supaya kita terheran-heran dan kagum. Tetapi Gereja telah bersaksi atas hidup dan ajaran Tuhan. Kesaksian inilah yang kita terima. Supaya apa? Supaya kita disatukan dalam Gereja itu sendiri. Dan juga supaya kita kemudian bersatu dengan Allah dan PuteraNya. Hebat, bukan? (Bdk 1 Yoh 3:1-3 )

Jadi karena Yesus memang sungguh Tuhan, maka benarlah semua perkataanNya. Semua janji itu pasti akan dipenuhiNya. Bukan pepesan kosong, bukan pula muslihat. Sebagai Tuhan, Yesus punya hak untuk menyampaikan janji-janji itu. Kalau toh ada yang mengatakan bahwa sabda itu ibarat tiket masuk surga, tidak salah! Sebab masuk surga itu berarti memasuki suatu kehidupan abadi yang membahagiakan. Itu sebabnya perikop ini dinamai Sabda Bahagia.

Kalimat pertama Tuhan, agak sulit saya mengerti. Begini sabdaNya: “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga” Bagi saya, menjadi kaya itu prasyarat untuk berbahagia. Sedangkan miskin adalah keadaan yang sama sekali terbalik. Saya pernah miskin, tak punya uang sepeserpun. Saya bahkan pernah kelaparan. Ketika itu saya sedang belajar bekerja. Dan saya memilih mengisi waktu libur kuliah saya dengan menjadi pekerja kasar. Saya menjadi kuli bangunan di kawasan Pluit. Upah saya sehari Rp.1,250. Karena saya ingin merasakan miskin yang sesungguhnya, maka tidak hanya jam tangan, bahkan uang pun saya tinggal di rumah. Ternyata upah harian itu baru dibayarkan di akhir pekan! Jadi selama seminggu bekerja saya tidak dibayar. Jangankan untuk makan, uang untuk membeli minum pun tidak ada. Padahal saya bahkan harus membeli air untuk mandi, cuci dan (maaf) kakus. Untungnya, masih ada beberapa ribu yang tersisa dari ongkos bus kota. Tetapi itu hanya cukup untuk membeli sebungkus nasi setiap hari dan 2 kantong air putih serta satu kantong air teh manis. Bayangkan bagaimana rasanya kehausan dan kelaparan itu. Karena saya selalu kebagian pekerjaan di bawah matahari langsung yang sedang lucu-lucunya bersinar terik. Saya memang berhasil mencapai tujuan mengisi liburan. Tetapi keberhasilan itu tidak membahagiakan saya malah menyengsarakan. Kesimpulan saya, ternyata miskin itu derita dan kelaparan itu siksaan yang membuat derita itu semakin lengkap.

Jadi apa maksudnya dengan miskin yang membahagiakan? Oh ya...saya lupa bercerita bahwa uang sisa ongkos saya itu hanya cukup untuk 2 hari saja. Benar! Selebihnya saya mengharapkan belas kasihan pemilik warung untuk memberi saya nasi dan lauk pauk serta air minum. Saya berjanji untuk membayar bila mandor telah memberi saya upah sepekan. Sebelumnya saya bahkan sudah berancang-ancang akan mengemis iba dari pemilik warung itu, demi sebungkus nasi dan sekantong air putih. Tetapi syukurlah, wajah saya sudah sedemikian memelas karena makan terakhir saya adalah kemarin siang. Maka tanpa banyak kata-katapun ia “meminjami” saya makan siang dengan nasi menjulang dihiasi beberapa kerat tempe dan air sup supaya tidak seret. Rasanya? Mak nyus. Lucu ya? Padahal saya ingat betul, saat itu saya menikmati makan siang itu sambil menangis. Bagi saya, itu rejeki! Karena makanan itu menyelamatkan saya tidak hanya dari kelaparan tetapi juga ancaman kematian. Dan makanan itu memberi saya kekuatan untuk tetap bekerja di tengah panas dan memberi saya cukup darah untuk diserbu nyamuk rawa-rawa Pluit.

Maka menjadi miskin di hadapan Tuhan bagi saya, ibarat berdiri kelaparan dihadapan pemilik warung yang berbadan subur itu. Menjadi miskin tak lain berarti menjadi tak berdaya apa-apa selain mengiba pada belas kasih Tuhan. Dan kelaparan di hadapan Tuhan adalah lapar dan dahaga akan pengampunan dan penyelamatanNya. Pemilik warung, yang iba hati itu, yang murah hati itu, yang telah menyelamatkan saya itu, bagaikan kehadiran Tuhan dalam hidup saya. Karena tanpa belas kasih Tuhan, niscaya saya akan mati binasa sia-sia. Jadi sepiring nasi dan sekantong air dari pemilik warung itu mengajarkan saya suatu kenikmatan istimewa. Betapa luar biasanya nikmat berjumpa dengan Tuhan pada saat jiwa saya begitu miskin, semangat saya begitu loyo dan gairah sangat dahaga. Saat itu bisa begitu absurd, karena menangis pun bisa berarti sangat bahagia.

Kalimat-kalimat Yesus Kristus lainnya dalam Sabda Bahagia itu jauh lebih mudah dipahami. Karena maknanya sudah sedemikian harafiah. Tetapi masalahnya, saya jauh dari siap menerima pemenuhan janji Tuhan. Terus terang, saya bahkan belum mengerjakan semua syarat-syarat itu. Saya masih berusaha (dengan sangat) keras. Bagaimana dengan anda? Mau?

Tidak ada komentar: