Jumat, 13 November 2009

Desember 21, 2012

Pekan Biasa XXXIII, 15 November 2009, Hari Minggu Biasa ke-33
Bacaan Ekaristi: Dan 12:1-3; Ibr 10:11-14; Mrk 13:24-32


Semua orang pasti pernah mendengar kata “kiamat”. Bahkan pernah membicarakannya, entah serius entah tidak. Yang menjadi pokok diskusi pastinya adalah “bagaimana” dan terutama “kapan”. Baru-baru ini ada forum diskusi yang mengatakan bahwa 21 Desember 2012 adalah saat kiamat. Tadinya saya akan menyampaikan sedikit (ehm...sebenarnya hanya copy-paste dengan sedikit edit saja) perihal tersebut. Tapi saya sendiri ndak mudeng. Saya khawatir pembahasan itu hanya akan menimbulkan kontroversi dan pertengkaran. Sudah jelas bagi kita, pada suatu waktu kiamat memang akan terjadi. Soal kapan pastinya tentu saja kita tidak tahu. Tidak seorang pun tahu. Mailakat juga tidak tahu. Dan bahkan Yesus tidak tahu. (bdk Mrk 13:32)

Takutkah menghadapi kiamat? Wah terus terang, saya sendiri bergidik ketika membaca Mrk 13:24-31. Saya takut memikirkan bagaimana peristiwa besar ini akan terjadi. Ketakutan itu semakin besar ketika saya memandangi anak-anak saya yang masih balita. Mereka masih pontang-panting berlarian bila terkejut mendengar gemuruh guntur. Apa yang akan menimpa mereka? Akankah mereka terluka? Akankah mereka menjerit ketakutan? Anda mungkin mengejek bahkan menuduh saya karena ketakutan itu akibat kurang beriman pada Yesus. Tapi sejujurnya, saya sendiri penakut. Takut terluka, takut celaka, takut tertimpa musibah. Apa yang digambarkan tentang peristiwa kiamat dalam bacaan Injil itu menambah ketakutan saya. Saya membayangkan suatu peristiwa bencana yang amat dahsyat akan terjadi pada waktu itu. Mungkin mirip dengan animasi film scifi (=science fiction movie). Entahlah, tetapi saya berharap agar bilamana waktunya tiba mungkin sebaiknya tidak usah ada rasa sakit. (Hu...mau seenaknya saja ya?)

Tetapi saya tidak mencemaskan peristiwa kematian. Dulu, sebelum kebangkitan Yesus, kematian memang menakutkan. Tetapi bagi kita sekarang maknanya sangat lain, oleh karena kebangkitan Kristus kematian itu adalah awal bagi suatu kehidupan yang baru. Mungkin terselip adanya suatu paradoks dalam peristiwa kematian itu. Di satu sisi ada kebenaran bahwa kematian itu akan memisahkan seseorang dengan keluarga dan sahabatnya serta meninggalkan duka mendalam bagi mereka yang ditinggalkan di dunia fana. Tetapi benar juga bahwa kematian itu akan mempertemukannya dengan leluhurnya, keluarga dan sahabatnya yang telah meninggal lebih dulu dalam dan mendapatkan suka cita baru di alam baka. Dan ini semua oleh karena penebusan Kristus Yesus yang telah mengalahkan kuasa maut. Suatu penebusan yang setiap tahun kita rayakan dengan gegap gempita dalam upacara Paskah. Suatu misteri yang menjadi tonggak iman Gereja.

Sewaktu masih kanak-kanak, saya takut kegelapan. Bila listrik padam, seluruhnya jadi gelap gulita. Apakah anda ingat pengalaman semacam ini? Kegelapan yang pekat dan ketidakmampuan melihat, memicu asma saya. Nafas saya tersengal-sengal. Kepanikan melanda. Dan tangis saya pun meledak. Kalau sudah begitu, saya akan bergerak kesana kemari, menabrak apa saja, menjangkau apapun. Di tengah kekacauan itu, suara berat ayah saya adalah kabar gembira. Ya benar, baru mendengar suara beliau pun kepanikan saya sudah mereda. Apalagi ketika tangan dan lengan yang kokoh kuat itu menjangkau dan mendekap saya, wuahhh...rasanya ayem karena terselamatkan.

Mungkin seperti itulah kehadiran Tuhan di saat-saat gelap hidup kita. Tuhan Yesus bagaikan seorang ayah yang berjalan di kegelapan untuk meraih dan menyelamatkan kita. Kuasa maut itu sudah dikalahkanNya, dan pada gilirannya kita akan ditebusNya. Kita memang tidak tahu kapan waktunya. Kita juga tidak tahu bagaimana kejadiannya. Tetapi kita tahu pasti bahwa ada Tuhan Yesus yang “telah-sedang-dan-akan” bagi kita. Tuhan yang terbukti telah melindungi kita dari segala mara bahaya. Tuhan yang sedang memberkati segala karya kita. Tuhan yang akan menyelamatkan kita dari maut.

Bagaimana bisa begitu? Hmm...mungkin begini penjelasannya. Apakah perbedaan kurban Yesus dan kurban persembahan para imam? Kurban Yesus ditandai dengan kurban darahNya sendiri, biarpun hanya satu kali tapi untuk selama-lamanya, telah mengkuduskan semua dosa umat manusia baik yang hidup dahulu sekarang maupun kelak. Sedangkan setiap imam mempersembahkan kurban yang bukan darahnya sendiri, setiap hari berulang dari hari ke hari, yang sama sekali tidak dapat menghapuskan dosa. (bdk Ibr 10:11-14). Sungguh, kita sangat beruntung telah ditebus Tuhan.

Ada bahaya. Ada musibah. Ada kematian. Ada kiamat. Akan tetapi ... (lha, ini penting) ada Yesus! Ada keselamatan. Horeeee...!

Tidak ada komentar: