Pekan Biasa XXXIV, 22 November 2009
Bacaan Ekaristi: Dan 7:13-14, Why 1:5-8, Yoh 18:33-37
Pada suatu blog, seorang imam menuliskan homili pertamanya pada kesempatan Ibadat Jumat Agung. Beliau menyampaikan kabar dengan 2 sisi: kabar ini buruk di satu sisi dan baik di sisi lain. Sisi buruknya adalah bahwa kita kehilangan sesuatu yang sangat berharga. Lebih buruk lagi, kita mungkin sama sekali tidak menyadarinya. Mengapa?
Menurut beliau, pertama karena kita telah sangat terlatih untuk memanipulasi sesama, dengan memanipulasi rasa bersalah untuk tujuan tertentu. Perilaku berpacaran, misalnya. “Kamu lupa menelpon aku karena kamu nggak sayang lagi sama aku.” “Kamu lebih mementingkan keluargamu daripada aku.” “Ujianmu itu lebih penting daripada cintaku padamu!” Hehe...lucu ya? Seperti sinetron. Tetapi percakapan ini bisa mempengaruhi pikiran dan perasaan. Tata tutur berkembang menjadi kebiasaan. Kebiasaan menjadi perilaku, pola pikir, tata tutur. Lalu menjadi budaya. Akhirnya, kita kehilangan petunjuk: apa dan bagaimana rasa bersalah yang sehat itu seharusnya.
Kedua, kita sering menuntut pengertian dari sesama. Perilaku di jalan raya, misalnya. Ketika hujan turun, pengendara motor ramai-ramai berhenti di kolong jembatan layang. Tidak peduli betapa padat lalu lintas saat itu. Tidak peduli betapa banyak kendaraan yang tersendat di belakangnya. Tidak peduli bila mereka telah menutup sekian lajur lalin. Tidak peduli! Kata ini ibarat mantra, simsalabim. Katakanlah “tidak peduli” maka wusss... hilanglah rasa bersalah.
Ketiga, kita tumbuh dewasa sebagai pembohong besar. Meskipun tahu telah berbuat salah, tetapi kita cerdik beralibi. Alibi itu terbungkus begitu rapi dan apik dengan semua alasan logis, psikologis. Alibi itu bahkan juga bisa terdengar sangat teologis, spiritual dan suci! Hebatnya lagi, hal ini sudah menjadi budaya. Sama sekali tidak ada rasa bersalah. Jadi, kalaupun harus meneliti batin pada doa malam (itu juga kalau masih biasa berdoa malam), pasti kesimpulan "clean, not guilty."
Menurut sang pastor, ini sangat serius! Rasa bersalah saja sudah mati, apalagi perasaan berdosa. Waduh. Saya sendiri terlalu malu memberi contohnya. Apapun itu, telah saya sampaikan dalam ruang pengakuan dosa. Kalau anda kesulitan mencari contohnya, berhati-hatilah. Jangan-jangan itu karena rasa bersalah sudah sedemikian tumpul.
Lalu apa kabar baiknya? Menurut pastur itu, meskipun kita telah kehilangan rasa bersalah, meskipun kita sudah tidak lagi terbiasa mengatakan “Maaf ya, saya salah”, meskipun kita sudah tidak pernah lagi berdoa “Mohon ampun atas dosa kita”, akan tetapi ada seseorang, yang sama persis dengan kita, manusia dengan darah dan daging, yang mau menebus kesalahan dan dosa. Bukan menebus kesalahan dan dosanya sendiri, sebab ia tidak bersalah dan juga tiada berdosa! Tetapi kesalahan dan dosa kitalah yang ditebusNya. Ia adalah Yesus.
Sebagai manusia, Yesus selalu bersedia menanggung dosa manusia. Ketika Pilatus berseru “Ecce homo! Lihatlah manusia ini!” (bdk Yoh 18:33-37) Kita tidak mampu memandangnya. Kita tidak akan tega menyaksikan luka-lukaNya. Dan dengan demikian, ia sama sekali berbeda dengan sesamaNya. Ia telah kehilangan ketampananNya, tetapi mendapatkan kemuliaanNya. Dia adalah Kristus!
Bagi saya, tidaklah penting bagaimana perasaan Pilatus dan Imam-imam Kepala saat itu. Akan tetapi (nah, ini penting) kalau kita menyaksikan langsung peristiwa itu, apa rasanya?
Bacaan Ekaristi: Dan 7:13-14, Why 1:5-8, Yoh 18:33-37
Pada suatu blog, seorang imam menuliskan homili pertamanya pada kesempatan Ibadat Jumat Agung. Beliau menyampaikan kabar dengan 2 sisi: kabar ini buruk di satu sisi dan baik di sisi lain. Sisi buruknya adalah bahwa kita kehilangan sesuatu yang sangat berharga. Lebih buruk lagi, kita mungkin sama sekali tidak menyadarinya. Mengapa?
Menurut beliau, pertama karena kita telah sangat terlatih untuk memanipulasi sesama, dengan memanipulasi rasa bersalah untuk tujuan tertentu. Perilaku berpacaran, misalnya. “Kamu lupa menelpon aku karena kamu nggak sayang lagi sama aku.” “Kamu lebih mementingkan keluargamu daripada aku.” “Ujianmu itu lebih penting daripada cintaku padamu!” Hehe...lucu ya? Seperti sinetron. Tetapi percakapan ini bisa mempengaruhi pikiran dan perasaan. Tata tutur berkembang menjadi kebiasaan. Kebiasaan menjadi perilaku, pola pikir, tata tutur. Lalu menjadi budaya. Akhirnya, kita kehilangan petunjuk: apa dan bagaimana rasa bersalah yang sehat itu seharusnya.
Kedua, kita sering menuntut pengertian dari sesama. Perilaku di jalan raya, misalnya. Ketika hujan turun, pengendara motor ramai-ramai berhenti di kolong jembatan layang. Tidak peduli betapa padat lalu lintas saat itu. Tidak peduli betapa banyak kendaraan yang tersendat di belakangnya. Tidak peduli bila mereka telah menutup sekian lajur lalin. Tidak peduli! Kata ini ibarat mantra, simsalabim. Katakanlah “tidak peduli” maka wusss... hilanglah rasa bersalah.
Ketiga, kita tumbuh dewasa sebagai pembohong besar. Meskipun tahu telah berbuat salah, tetapi kita cerdik beralibi. Alibi itu terbungkus begitu rapi dan apik dengan semua alasan logis, psikologis. Alibi itu bahkan juga bisa terdengar sangat teologis, spiritual dan suci! Hebatnya lagi, hal ini sudah menjadi budaya. Sama sekali tidak ada rasa bersalah. Jadi, kalaupun harus meneliti batin pada doa malam (itu juga kalau masih biasa berdoa malam), pasti kesimpulan "clean, not guilty."
Menurut sang pastor, ini sangat serius! Rasa bersalah saja sudah mati, apalagi perasaan berdosa. Waduh. Saya sendiri terlalu malu memberi contohnya. Apapun itu, telah saya sampaikan dalam ruang pengakuan dosa. Kalau anda kesulitan mencari contohnya, berhati-hatilah. Jangan-jangan itu karena rasa bersalah sudah sedemikian tumpul.
Lalu apa kabar baiknya? Menurut pastur itu, meskipun kita telah kehilangan rasa bersalah, meskipun kita sudah tidak lagi terbiasa mengatakan “Maaf ya, saya salah”, meskipun kita sudah tidak pernah lagi berdoa “Mohon ampun atas dosa kita”, akan tetapi ada seseorang, yang sama persis dengan kita, manusia dengan darah dan daging, yang mau menebus kesalahan dan dosa. Bukan menebus kesalahan dan dosanya sendiri, sebab ia tidak bersalah dan juga tiada berdosa! Tetapi kesalahan dan dosa kitalah yang ditebusNya. Ia adalah Yesus.
Sebagai manusia, Yesus selalu bersedia menanggung dosa manusia. Ketika Pilatus berseru “Ecce homo! Lihatlah manusia ini!” (bdk Yoh 18:33-37) Kita tidak mampu memandangnya. Kita tidak akan tega menyaksikan luka-lukaNya. Dan dengan demikian, ia sama sekali berbeda dengan sesamaNya. Ia telah kehilangan ketampananNya, tetapi mendapatkan kemuliaanNya. Dia adalah Kristus!
Bagi saya, tidaklah penting bagaimana perasaan Pilatus dan Imam-imam Kepala saat itu. Akan tetapi (nah, ini penting) kalau kita menyaksikan langsung peristiwa itu, apa rasanya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar