Pekan Adven II, 6 Desember 2009
Bacaan Ekaristi: Bar 5:1-9, Flp 1: 4-6, 8-11, Luk 3: 1-6
Kitab Barukh adalah salah satu kitab dalam deretan kedua (deuterokanonika) Perjanjian Lama. Kitab ini menarik bagi saya karena sangat singkat dengan hanya 5 Bab saja dan sangat keren gaya bahasanya! Apalagi babnya yang terakhir, yang disebut sebagai surat Nabi Yeremia kepada umat yang hendak digiring menjadi tawanan Babel. Kitab Barukh ini disetting pada “tahun kelima semenjak Yerusalem direbut orang-orang Kasdim dan dibakar oleh mereka.” Jadi, kitab ini ditulis oleh Barukh sendiri di jaman susah, di masa serba prihatin. (bdk Bar 1:1-2)
Kitab ini dimulai dengan kisah singkat derita Israel sebagai hukuman atas dosa bangsa di masa lampau. Dosa bangsa? Ya benar, dosa bersama, dosa kolektif, dosa keroyokan. “Keadilan ada pada Tuhan, Allah kami, sedangkan malu muka pada kami dan nenek moyang kami, sebagaimana halnya pada hari ini...” (bdk Bar 1:15b diulang persis sama pada Bar 2:6). Kita perhatikan ya. Kitab ini adalah sebuah surat yang dimulai dengan pengakuan dosa (bdk Bar 1:15b-dst), lalu diikuti dengan doa permohonan (bdk Bar 2:11-dst), lalu disusul dengan semacam homili (bdk Bar 3:9-dst) dengan sharing keluh kesah, harapan dan doa (bdk Bar 4:5-dst). Bagian terakhir adalah surat nabi Yeremia kepada mereka. Stuktur kitab ini mengingatkan saya pada struktur ibadat sabda. Semua model ibadat sabda, siapapun pemimpinnya, untuk kepentingan apapun.
Misa ekaristi yang adalah induk semua ibadat, menurut saya malah punya struktur yang lebih dahsyat lagi. Begini. Pertama, umat disambut dengan salam. Lalu umat diajak mengaku dosa bersama. Ini adalah anti klimaks, langsung menghujam. Kalau diselami sepenuh hati, mestinya kita sudah tidak bisa celingak-celinguk lagi. Yang benar malah sesenggukan. Menyadari betapa dosa telah menghacurkan martabat kita dihadapan Tuhan. Lalu kita diingatkan pada tujuan hidup melalui bacaan-bacaan kitab suci dan homili suci. Umat diberi semangat lagi. Dari posisi terpuruk, pelan-pelan mendongak lagi. Kemudian kita semua diajak untuk ikut perayaan ekaristi. Suatu upacara agung sebagai peringatan akan perjamuan Tuhan. Yang kita sambut dalam perjamuan ini adalah tubuh mistik Kristus Yesus sendiri. Kemuliaan ilahi itu tampak dalam wujud yang sangat sederhana: sekeping hosti. Tetapi inilah klimaks yang sesungguhnya. Manusia berdosa itu diajak Tuhan untuk menikmati perjamuanNya, bahkan dijamu dengan kurban tubuh dan darahNya sendiri. Ada yang lebih hebat dari pada itu? Setelah itu barulah kita diutus untuk mewartakan kuasa kasih setia Tuhan kemana-mana, kepada siapapun.
Membaca Bar 5:1-9 tak kurang asyik. Perikop ini bertutur bahwa tiada alasan bagi umat Allah untuk berduka. Biarpun dosa telah meluluhlantakkan hubungan mesra dengan Tuhan. Kendatipun kegelapan telah merenggut kemuliaan martabat. Allah telah berinisiatif merenggut kita kembali. Allah tidak hanya mengampuni dosa, tetapi telah memulihkan martabat yang rusak karena dosa. Saya mengibaratkan Tuhan bagai peternak ikan yang memisahkan ikan yang sehat. Ia menjala ikan-ikan sehat untuk dipindahkan ke kolam yang lebih baik. Akan tetapi semua ikan ternyata meronta-ronta ketika diangkat dari air kolam keruh. Dan semakin liar gerakan ikan itu, semakin sulit penyelamatannya. Begitulah kita, yang sering melawan penyelamatan ilahi. Maka kembalinya kita dalam kedosaan sama sekali bukanlah kegagalan rahmat keselamatan melainkan sepenuhnya keberhasilan dari teguhnya niat kita Niat apa? Niat untuk berdosa!
Nah, sekarang saya lemas. Jadi kalau saya masih berdosa, bukankah itu karena saya memang masih ingin berdosa? Benar-benar suatu niat yang aneh. Bagaimana? Duh.
Bacaan Ekaristi: Bar 5:1-9, Flp 1: 4-6, 8-11, Luk 3: 1-6
Kitab Barukh adalah salah satu kitab dalam deretan kedua (deuterokanonika) Perjanjian Lama. Kitab ini menarik bagi saya karena sangat singkat dengan hanya 5 Bab saja dan sangat keren gaya bahasanya! Apalagi babnya yang terakhir, yang disebut sebagai surat Nabi Yeremia kepada umat yang hendak digiring menjadi tawanan Babel. Kitab Barukh ini disetting pada “tahun kelima semenjak Yerusalem direbut orang-orang Kasdim dan dibakar oleh mereka.” Jadi, kitab ini ditulis oleh Barukh sendiri di jaman susah, di masa serba prihatin. (bdk Bar 1:1-2)
Kitab ini dimulai dengan kisah singkat derita Israel sebagai hukuman atas dosa bangsa di masa lampau. Dosa bangsa? Ya benar, dosa bersama, dosa kolektif, dosa keroyokan. “Keadilan ada pada Tuhan, Allah kami, sedangkan malu muka pada kami dan nenek moyang kami, sebagaimana halnya pada hari ini...” (bdk Bar 1:15b diulang persis sama pada Bar 2:6). Kita perhatikan ya. Kitab ini adalah sebuah surat yang dimulai dengan pengakuan dosa (bdk Bar 1:15b-dst), lalu diikuti dengan doa permohonan (bdk Bar 2:11-dst), lalu disusul dengan semacam homili (bdk Bar 3:9-dst) dengan sharing keluh kesah, harapan dan doa (bdk Bar 4:5-dst). Bagian terakhir adalah surat nabi Yeremia kepada mereka. Stuktur kitab ini mengingatkan saya pada struktur ibadat sabda. Semua model ibadat sabda, siapapun pemimpinnya, untuk kepentingan apapun.
Misa ekaristi yang adalah induk semua ibadat, menurut saya malah punya struktur yang lebih dahsyat lagi. Begini. Pertama, umat disambut dengan salam. Lalu umat diajak mengaku dosa bersama. Ini adalah anti klimaks, langsung menghujam. Kalau diselami sepenuh hati, mestinya kita sudah tidak bisa celingak-celinguk lagi. Yang benar malah sesenggukan. Menyadari betapa dosa telah menghacurkan martabat kita dihadapan Tuhan. Lalu kita diingatkan pada tujuan hidup melalui bacaan-bacaan kitab suci dan homili suci. Umat diberi semangat lagi. Dari posisi terpuruk, pelan-pelan mendongak lagi. Kemudian kita semua diajak untuk ikut perayaan ekaristi. Suatu upacara agung sebagai peringatan akan perjamuan Tuhan. Yang kita sambut dalam perjamuan ini adalah tubuh mistik Kristus Yesus sendiri. Kemuliaan ilahi itu tampak dalam wujud yang sangat sederhana: sekeping hosti. Tetapi inilah klimaks yang sesungguhnya. Manusia berdosa itu diajak Tuhan untuk menikmati perjamuanNya, bahkan dijamu dengan kurban tubuh dan darahNya sendiri. Ada yang lebih hebat dari pada itu? Setelah itu barulah kita diutus untuk mewartakan kuasa kasih setia Tuhan kemana-mana, kepada siapapun.
Membaca Bar 5:1-9 tak kurang asyik. Perikop ini bertutur bahwa tiada alasan bagi umat Allah untuk berduka. Biarpun dosa telah meluluhlantakkan hubungan mesra dengan Tuhan. Kendatipun kegelapan telah merenggut kemuliaan martabat. Allah telah berinisiatif merenggut kita kembali. Allah tidak hanya mengampuni dosa, tetapi telah memulihkan martabat yang rusak karena dosa. Saya mengibaratkan Tuhan bagai peternak ikan yang memisahkan ikan yang sehat. Ia menjala ikan-ikan sehat untuk dipindahkan ke kolam yang lebih baik. Akan tetapi semua ikan ternyata meronta-ronta ketika diangkat dari air kolam keruh. Dan semakin liar gerakan ikan itu, semakin sulit penyelamatannya. Begitulah kita, yang sering melawan penyelamatan ilahi. Maka kembalinya kita dalam kedosaan sama sekali bukanlah kegagalan rahmat keselamatan melainkan sepenuhnya keberhasilan dari teguhnya niat kita Niat apa? Niat untuk berdosa!
Nah, sekarang saya lemas. Jadi kalau saya masih berdosa, bukankah itu karena saya memang masih ingin berdosa? Benar-benar suatu niat yang aneh. Bagaimana? Duh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar