Jumat, 01 April 2011

HIDUP (BERDOSA) ITU PELAJARAN

Minggu Prapaskah IV
3 April 2011

Pada suatu renungan, seorang imam yang bertugas di Papua menulis demikian. Adalah seorang Guru Buddhis yang terkenal dari India diundang datang ke Tibet untuk membabarkan Dharma. Guru ini membawa serta seorang laki-laki yang tidak hanya bawel dan tidak bertanggung jawab, tetapi juga sebagai tukang masak judes. Setelah beberapa waktu, orang-orang Tibet mendekati sang guru dan berkata dengan penuh hormat, "Mengapa guru begitu tenggang rasa dengan tukang masak yang tidak berguna itu? Ia kelihatannya cuma menimbulkan masalah, alih-alih membantu guru." Sang Guru tersenyum dan menjawab, "Ah, kalian tidak mengerti. Ia bukan pelayanku, ia adalah guruku." Orang-orang Tibet kaget dan memohon penjelasan, "Kenapa bisa begitu?" Sang guru menjelaskan, "Kalian lihat, perangainya yang rewel dan tidak menyenangkan itu telah mengajariku untuk bersikap sabar dan bertenggang rasa setiap hari. Karena itulah aku menghargainya dan menyebutnya sebagai guruku."

Non scholae, sed vitae discimus, bukannya untuk sekolah melainkan untuk hidup kita belajar. Menjadi cantrik atau siswa memang berbatas ruang dan waktu. Ada saatnya studi. Tetapi belajar tidaklah demikian. Proses belajar membuat seseorang semakin pintar, semakin dewasa. Dalam segala hal kita perlu belajar. Mula-mula dalam hal-hal sederhana. Lantas semakin rumit. Bahkan berdoa juga harus belajar bertahap.

Menurut saya sih berdosa itu wajar, boleh-boleh saja namanya juga manusia. Huh...gak salah? Ndak salah, serius kok. Pengalaman itulah guru, historia est magistra. Benar bukan? Bahkan pengalaman bersalah dan berdosa juga bisa mengajarkan sesuatu. Semestinya memang ada efek jera. Ada saat untuk kapok, sehingga tidak melakukannya lagi. Kemarin, hari ini, besok. Sekali lagi bersalah, termasuk berdosa itu pengalaman belajar. Ketika seorang berdosa bertobat, ada pengalaman yang...mungkin awalnya terasa ganjil, tapi kemudian melegakan: pengalaman “bertobat dan diampuni”. Tetapi sesungguhnya itulah salah satu rasa bagaimana diselamatkan. 
 
Menjadi aneh kalau seseorang jadi keseringan berdosa. Apalagi dosanya itu-itu saja, berulang-ulang. Itu namanya pecandu. Ia tidak lagi dapat berhenti melakukan kesalahannya. Ia malah terus-menerus mengulanginya lagi dan lagi. Memang jadinya aneh: berdosa kok konsisten? Lucu! Tetapi pecandu pun bisa punya masa depan di hadapan Tuhan. Ia juga bisa menjadi empunya Kerajaan Allah. “Lhoooo...apa iya?” Iya, benar. Kalau saja dosa itu juga selalu diikuti dengan pertobatan. Jadi, yang konsisten adalah semangat bertobatnya, kehendak untuk selalu menjadi lebih baik, keinginan untuk memperbarui diri.

Banyak kok yang merindukan kuasa kasih Tuhan, dari pagi hingga pagi lagi, 7 hari seminggu, sepanjang tahun, seumur hidup. Tidak hanya selama masa Prapaskah kali ini, tetapi terus sepanjang waktu! Bahkan banyak yang masih mengharapkan kerahiman Tuhan bahkan sesudah hidup usai!!

Mari, bersama-sama saya, kita konsisten untuk bertobat. Jangan malu, jangan ragu, jangan berhenti...

Tidak ada komentar: