Pekan Biasa XXIV - 13 September 2009,
Bacaan Ekaristi: Yes 50:5-9a; Yak 2:14-18; Mrk 8:27-35
Ketika masih remaja, saya sering ikut teman-teman sekolah pulang berlibur. Mereka tinggal di pedesaan di Jawa Tengah. Sebagai remaja kota, saya menikmati semua pengalaman itu. Dan saya memperhatikan hampir setiap detil. Antara lain, adanya kendi di hampir semua pintu pagar halaman rumah. Mungkin tidak tepat disebut pintu, karena memang semua pagar tidak berpintu. Juga di rumah kawan saya itu, ada kendi dengan sumbat kayu di bagian atas dan gelas alumunium terkait pada mulut kendi. Mengapa ada kendi semacam itu? Apa guna kendi-kendi itu? Apa isi kendi itu? Siapa yang menyiapkan kendi itu?
“Kendi itu berisi air minum. Siapa saja yang haus boleh mampir dan meminum air itu. Kami mempersiapkan air minum itu. Setiap sore selalu diganti dengan air matang yang baru. Kalaupagi rasanya segar sekali.” Jadi setiap orang yang hilir mudik melewati rumah-rumah itu tidak perlu khawatir kehausan. Tidak hanya di pintu pagar rumah teman saya itu, tetapi juga di rumah-rumah lainnya. Ada air minum yang siap saji dan boleh mereka minum begitu saja. Jangankan membayar, bahkan perlu permisi pun tidak. Karena mungkin tuan rumah pemilik kendi itu bisa saja sedang berada di sawah ladangnya. Jadi tidak perlu meminta ijin sebelum minum. Memang demikianlah maksud pemilik kendi-kendi itu, supaya siapapun yang haus bisa langsung meminum airnya. Begitu penjelasan kawan saya itu. Karena baginya, tidak ada yang istimewa dengan keberadaan kendi itu, maka datar saja penjelasannya.
Tetapi bagi saya tidaklah demikian. Kendi itu sangatlah istimewa. Setidaknya ada 3 hal yang membuatnya istimewa. Pertama, kendi itu adalah wujud kepedulian tuan rumah pada orangorang yang lalu lalang. Karena sebagian besar yang lalu lalang adalah anak-anak sekolah, pedagang dan petani. Di masa itu kendaraan motor masih jarang terlihat di sana. Jadi, mereka hilir mudik dengan berjalan kaki atau naik sepeda. Setelah diterpa cuaca terik atau diguyur hujan, segelas air kendi yang sejuk pastilah sangat menyegarkan. Anda yang belum pernah minum air kendi yang telah disimpan semalaman di udara terbuka, tentu sulit membayangkan kesegarannya. Kedua, kendi itu adalah lambang kesetiaan. Setia untuk terus menerus mengganti isi kendi dengan air matang yang baru setiap sore. Padahal mungkin tuan rumah juga masih kelelahan setelah berdagang atau bertani seharian. Tidak peduli air itu masih penuh, tuan rumah pasti mengganti isinya. Jadi para musafir, sebutlah begitu, sama sekali tidak perlu khawatir akan sakit perut bila meminum air itu. Ketiga, keberadaan kendi dengan segala filosofinya itu sama sekali asing dalam dunia saya, remaja yang tumbuh di perkotaan.
Lebih dua puluh lima tahun kemudian, saya sudah bisa membeli kendi. Dan saya tentu boleh menempatkannya di ujung pagar rumah saya sendiri. Tetapi itu tidak pernah saya lakukan. Mengapa? Setidaknya karena 3 hal juga. Pertama, saya khawatir dianggap aneh atau 'nganehnganehi' (berperilaku aneh) karena menyediakan air di dalam kendi. Hari gene menjadikan kendi sebagai tempat minum saja sudah aneh. Menempatkan kendi di pagar rumah tentu lebih aneh lagi. Kedua, saya khawatir kendi itu akan hilang atau rusak. Kendi mungkin dicuri atau diambil siapapun sebagai souvenir karena dianggap barang langka. Atau bisa rusak dijadikan sasaran permainan anak-anak, adu jitu menembak atau melempar batu. Ketiga, karena saya terlalu sempit memahami, terlalu dangkal meniati dan terlalu dalam mengkhawatirkan.
Kedua hal pertama yang menjadi alasan saya itu jelas sama-sekali belum pernah terbukti. Keduanya mungkin sangatlah sepele, sangat tidak masuk akal dan sangat naif. Mengapa? Pertama, karena memang saya belum pernah membeli kendi apalagi menempatkannya di pagar rumah saya. Jadi, bagaimana mungkin tetangga saya atau siapapun yang lewat di depan tumah saya akan menganggap saya 'nganeh-nganehi'? Kedua, karena kendi itu tidak pernah ada di pagar rumah saya, jadi sebenarnya saya tidak perlu khawatir akan hilang atau rusak, bukan? Tetapi keduanya sungguh nyata. Nyata menghalangi saya untuk melakukan sesuatu bagi sesama.
Menyadari hal itu sekarang saya meringis. Hikss … jangan dibayangkan jeleknya. Kalau bertemu Rhoma Irama tentu ia akan berkata kepada saya dengan nada khasnya,“Ter-la-lu!” Apalagi setelah saya membaca surat Yakobus 2:14-18. Aduh, malu deh. (Tetapi kalau anda masih mencari-cari letak urutan Yak 2 diantara Perjanjian Lama atau Perjanjian Baru, tidak usah malu. Karena itu salah satu ciri umat Katolik. Hahaha … peace.)
Mengapa saya malu? Karena seminggu sekali saya mengucapkan syahadat para rasul. Karena entah berapa kali sehari seumur hidup ini saya berdoa dengan doa Yesus: Bapa Kami. Karena di tengah-tengah masyarakat, saya mengaku katolik. Karena untuk urusan iman dan perimanan saya lantang bercakap dan lancar mengetik. Padahal untuk urusan semungil kendi dan sesederhana bejana tanah liat itu, saya mandeg greg! Iman saya belum mencuat dalam perbuatan sepele itu. Malah menciut, cit cit … lebih kecil daripada titik tik.
Maka pas betul bila surat Yakobus itu diamplopi dan ditujukan kepada saya. Rasanya mak pleng! Karena dalam urusan air kendi itu, iman saya kalah telak. Pokoknya nggak banget deh. Jadi kalau saya tidak mampu memberi wujud iman saya melalui urusan sesepele itu, kok ya saya masih berani-beraninya mengaku beriman. Waduh…saya tentu masih sangat beruntung kalau hanya diberi hukuman oleh rasul Yakobus untuk membaca surat itu berulang-ulang. Bukannya distrap berdiri dipekarangan gereja karena saya memang “me-ma-lu-kan”. Saya semakin bertambah malu bila ternyata yang pantas menjalani hukuman itu hanya saya hanya seorang diri. Tidak ada satu orang lain pun dari lingkungan saya, bahkan dari paroki saya.
Jadi, jangan ikuti saya. Suer ya! Biarlah saya sendirian.
Bacaan Ekaristi: Yes 50:5-9a; Yak 2:14-18; Mrk 8:27-35
Ketika masih remaja, saya sering ikut teman-teman sekolah pulang berlibur. Mereka tinggal di pedesaan di Jawa Tengah. Sebagai remaja kota, saya menikmati semua pengalaman itu. Dan saya memperhatikan hampir setiap detil. Antara lain, adanya kendi di hampir semua pintu pagar halaman rumah. Mungkin tidak tepat disebut pintu, karena memang semua pagar tidak berpintu. Juga di rumah kawan saya itu, ada kendi dengan sumbat kayu di bagian atas dan gelas alumunium terkait pada mulut kendi. Mengapa ada kendi semacam itu? Apa guna kendi-kendi itu? Apa isi kendi itu? Siapa yang menyiapkan kendi itu?
“Kendi itu berisi air minum. Siapa saja yang haus boleh mampir dan meminum air itu. Kami mempersiapkan air minum itu. Setiap sore selalu diganti dengan air matang yang baru. Kalaupagi rasanya segar sekali.” Jadi setiap orang yang hilir mudik melewati rumah-rumah itu tidak perlu khawatir kehausan. Tidak hanya di pintu pagar rumah teman saya itu, tetapi juga di rumah-rumah lainnya. Ada air minum yang siap saji dan boleh mereka minum begitu saja. Jangankan membayar, bahkan perlu permisi pun tidak. Karena mungkin tuan rumah pemilik kendi itu bisa saja sedang berada di sawah ladangnya. Jadi tidak perlu meminta ijin sebelum minum. Memang demikianlah maksud pemilik kendi-kendi itu, supaya siapapun yang haus bisa langsung meminum airnya. Begitu penjelasan kawan saya itu. Karena baginya, tidak ada yang istimewa dengan keberadaan kendi itu, maka datar saja penjelasannya.
Tetapi bagi saya tidaklah demikian. Kendi itu sangatlah istimewa. Setidaknya ada 3 hal yang membuatnya istimewa. Pertama, kendi itu adalah wujud kepedulian tuan rumah pada orangorang yang lalu lalang. Karena sebagian besar yang lalu lalang adalah anak-anak sekolah, pedagang dan petani. Di masa itu kendaraan motor masih jarang terlihat di sana. Jadi, mereka hilir mudik dengan berjalan kaki atau naik sepeda. Setelah diterpa cuaca terik atau diguyur hujan, segelas air kendi yang sejuk pastilah sangat menyegarkan. Anda yang belum pernah minum air kendi yang telah disimpan semalaman di udara terbuka, tentu sulit membayangkan kesegarannya. Kedua, kendi itu adalah lambang kesetiaan. Setia untuk terus menerus mengganti isi kendi dengan air matang yang baru setiap sore. Padahal mungkin tuan rumah juga masih kelelahan setelah berdagang atau bertani seharian. Tidak peduli air itu masih penuh, tuan rumah pasti mengganti isinya. Jadi para musafir, sebutlah begitu, sama sekali tidak perlu khawatir akan sakit perut bila meminum air itu. Ketiga, keberadaan kendi dengan segala filosofinya itu sama sekali asing dalam dunia saya, remaja yang tumbuh di perkotaan.
Lebih dua puluh lima tahun kemudian, saya sudah bisa membeli kendi. Dan saya tentu boleh menempatkannya di ujung pagar rumah saya sendiri. Tetapi itu tidak pernah saya lakukan. Mengapa? Setidaknya karena 3 hal juga. Pertama, saya khawatir dianggap aneh atau 'nganehnganehi' (berperilaku aneh) karena menyediakan air di dalam kendi. Hari gene menjadikan kendi sebagai tempat minum saja sudah aneh. Menempatkan kendi di pagar rumah tentu lebih aneh lagi. Kedua, saya khawatir kendi itu akan hilang atau rusak. Kendi mungkin dicuri atau diambil siapapun sebagai souvenir karena dianggap barang langka. Atau bisa rusak dijadikan sasaran permainan anak-anak, adu jitu menembak atau melempar batu. Ketiga, karena saya terlalu sempit memahami, terlalu dangkal meniati dan terlalu dalam mengkhawatirkan.
Kedua hal pertama yang menjadi alasan saya itu jelas sama-sekali belum pernah terbukti. Keduanya mungkin sangatlah sepele, sangat tidak masuk akal dan sangat naif. Mengapa? Pertama, karena memang saya belum pernah membeli kendi apalagi menempatkannya di pagar rumah saya. Jadi, bagaimana mungkin tetangga saya atau siapapun yang lewat di depan tumah saya akan menganggap saya 'nganeh-nganehi'? Kedua, karena kendi itu tidak pernah ada di pagar rumah saya, jadi sebenarnya saya tidak perlu khawatir akan hilang atau rusak, bukan? Tetapi keduanya sungguh nyata. Nyata menghalangi saya untuk melakukan sesuatu bagi sesama.
Menyadari hal itu sekarang saya meringis. Hikss … jangan dibayangkan jeleknya. Kalau bertemu Rhoma Irama tentu ia akan berkata kepada saya dengan nada khasnya,“Ter-la-lu!” Apalagi setelah saya membaca surat Yakobus 2:14-18. Aduh, malu deh. (Tetapi kalau anda masih mencari-cari letak urutan Yak 2 diantara Perjanjian Lama atau Perjanjian Baru, tidak usah malu. Karena itu salah satu ciri umat Katolik. Hahaha … peace.)
Mengapa saya malu? Karena seminggu sekali saya mengucapkan syahadat para rasul. Karena entah berapa kali sehari seumur hidup ini saya berdoa dengan doa Yesus: Bapa Kami. Karena di tengah-tengah masyarakat, saya mengaku katolik. Karena untuk urusan iman dan perimanan saya lantang bercakap dan lancar mengetik. Padahal untuk urusan semungil kendi dan sesederhana bejana tanah liat itu, saya mandeg greg! Iman saya belum mencuat dalam perbuatan sepele itu. Malah menciut, cit cit … lebih kecil daripada titik tik.
Maka pas betul bila surat Yakobus itu diamplopi dan ditujukan kepada saya. Rasanya mak pleng! Karena dalam urusan air kendi itu, iman saya kalah telak. Pokoknya nggak banget deh. Jadi kalau saya tidak mampu memberi wujud iman saya melalui urusan sesepele itu, kok ya saya masih berani-beraninya mengaku beriman. Waduh…saya tentu masih sangat beruntung kalau hanya diberi hukuman oleh rasul Yakobus untuk membaca surat itu berulang-ulang. Bukannya distrap berdiri dipekarangan gereja karena saya memang “me-ma-lu-kan”. Saya semakin bertambah malu bila ternyata yang pantas menjalani hukuman itu hanya saya hanya seorang diri. Tidak ada satu orang lain pun dari lingkungan saya, bahkan dari paroki saya.
Jadi, jangan ikuti saya. Suer ya! Biarlah saya sendirian.
2 komentar:
cerita kendinya tak terduga-duga.
tulisan yang keren.
renungan yang inspiratif.
thanks, bon.
matur nuwun, berkat doronganmu dan Roh Tuhan yang ada padamu. wassalve
Posting Komentar