Pada suatu waktu seorang imam mampir di suatu gereja. Meskipun sudah masa
prapaskah, hiasan Natal dan tulisan, “Gloria ini excelsis Deo” masih
dipasang di depan pintu. Kemudian beliau bertanya kepada salah satu umat
dan jawabnya, “Kami masih senang dengan lagu-lagu Natal yang penuh dengan
kegembiraan daripada lagu saat ini yang melow dan penuh
penderitaan!” Kata imam itu, “Para saudara, Yesus itu datang ke
dunia, tidak menjadi bayi terus. Yesus juga dewasa dan Ia bekerja
membantu St. Yosef sebagai tukang kayu dan terlebih lagi, Ia harus bekerja
keras untuk membantu orang yang menderita, supaya selamat jiwa dan raganya.
Jika kita hendak mengikuti Yesus, kita tidak hanya ingat Natal yang penuh
suka-cita, melainkan kita juga diajak merenungkan bagaimana Yesus
berkarya bagi umat manusia dan menderita sengsara untuk menebus dosa-dosa kita.
Dikisahkan
ada sebuah paroki yang memiliki menara yang amat tinggi. Setiap hari, pastor
paroki itu naik ke menara dan berdoa di sana. Suatu hari ia berkata bahwa makin
tinggi ia naik ke menara, maka Tuhan akan mendengarkan doanya. Pagi – siang –
malam, ia selalu naik ke menara itu dan memohon agar Tuhan mendengarkan. Pada
suatu ketika, Tuhan mendengarkan doa pastor itu dan berkata, “Pastor, setiap
hari engkau memanggil-Ku di atas menara. Tetapi sebenarnya Aku berada di bawah
sana. Aku berada di tengah-tengah orang miskin dan orang sakit serta
orang yang menderita. Aku bersama umat-Ku di paroki mu.”
Henry
Sienkiweicz dalam “Quo Vadis” mengajak kita untuk merenungkan
bagaimana Petrus akan lari dari tugasnya. Pada waktu itu, orang-orang yang
mengaku sebagai pengikut Kristus dianiaya, diadu dengan singa-singa di
Collesium. Suasananya amat mencekam. Petrus meninggalkan kota Roma dan hendak
“naik gunung” Tetapi sampai di Jalan Avia, ia berjumpa dengan “seseorang”.
Petrus berkata, “Quo Vadis Domine?” artinya, hendak ke mana Tuan? Tuhan
pun menjawab, “Aku akan “turun gunung” ke kota Roma untuk disalibkan yang kedua
kali. Petrus sadar bahwa yang berbicara itu adalah Yesus Kristus,
gurunya. Mendengar suara tersebut, Petrus langsung kembali dan
bergegas-gegas kembali ke Roma. Di sana ia disalibkan dengan kepala di
bawah. Katanya, “Aku tidak layak disalibkan seperti Kristus, Tuhanku. Saliblah
aku dengan posisi kepalaku di bawah!”
Hidup kita di dunia ini
penuh dengan tantangan. Setiap kita memiliki “Yerusalem-Yerusalem” dan
“Roma-Roma” masing-masing. Yerusalem-Roma-nya suami-istri adalah
keluarga dan anak-anak, Yerusalem-Roma-nya guru adalah sekolah dan siswa-siswinya,
Yerusalem-Roma-nya orang yang aktif dalam hidup menggereja adalah
bagaimana dikritik dan dicela oleh teman gerejanya sendiri. Dan masih
banyak lagi Yerusalem-Roma kita masing-masing. Semoga kita
tetap berani “turun gunung” dan tidak takut menghadapi
tantangan-ujian-cobaan hidup di tempat tugas kita masing-masing dengan penuh
iman, harap dan kasih.
Ave.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar